Senin, 20 September 2010

10 PESANAN IMAM SYAFIE YG MESTI DIIKUT

SEBELUM IMAM SYAFIE WAFAT, BELIAU SEMPAT BERPESAN KEPADA MURIDNYA SERTA UMAT ISLAM UMUMNYA. BERIKUT ADALAH KANDUNGAN WASIAT TERSEBUT :

hak kepada diri. iaitu mengurangkan tidur, mengurangkan makan, mengurangkan percakapan dan berpada-pada dengan rezeki yang ada

hak kepada malaikat maut. iaitu mengqadakan kewajipan-kewajipan yang tertinggal, mendapatkan kemaafan dari orang yang dizalimi, membuat persediaan untuk mati dan merasa cinta pada Allah

hak kepada kubur. iaitu membuang tabiat suka menabur fitnah, membuang tabiat kencing merata-rata, memperbanyakkan solat tahajjud dan membantu orang yang dizalimi.

hak kepada munkar dan nakir. iaitu tidak berdusta, berkata benar, meninggalkan maksiat dan nasihat-menasihati.

hak kepada mizan (neraca timbangan amalan pada hari akhirat). iaitu menahan kemarahan, banyak berzikir, mengikhlaskan amalan dan sanggup menanggung kesulitan.

hak kepada sirat (titian yang merentangi neraka pada hari akhirat). membuang tabiat suka mengumpat, wara', suka membantu orang beriman dan suka berjemaah.

hak kepada malik (malaikat penjaga neraka). iaitu menangis lantaran takutkan Allah s.w.t, berbuat baik kepada ibu bapa, bersedekah ketika terang-terangan serta bersembunyi serta memperelokkan akhlak.

hak kepada ridhwan (malaikat penjaga syurga). iaitu merasa redha kepada qadha' Allah, bersabar menerima bala, bersyukur ke atas nikmat allah dan bertaubat dari melakukan maksiat.

hak kepada nabi s.a.w. iaitu berselawat ke atasnya, berpegang dgn syariat, bergantung kepada al-sunnah (hadith), menyayangi para sahabat dan bersaing dalam mencari kelebihan dari Allah.

hak kepada Allah s.w.t. iaitu mengajak manusia ke arah kebaikan, mencegah manusia dari kemungkaran, menyukai ketaatandan membenci kemaksiatan.

semoga kita dapat beramal dengan wasiat-wasiat imam syafie yang amat berguna ini.

Wasiat Aqidah Imam Syafi'i


Imam Syafi'i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati,
setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal
Imam Syafi'i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh Ahlus
Sunnah wal Jama'ah dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki
Nashirul Hadits (pembela hadits). (Al-Majmu', Syarhul Muhazzab, 1/10). Imam Adz-Dzahabi
menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang mujaddid
(pembaharu) pada abad kedua hijriyah. (Siar A'lam, 10/5-6;46 dan Tadzkiratul Huffazh, 1/361).
Dalam hal aqidah, Imam Syafi'i memiliki wasiat yang sangat berharga.
Muhammad bin Ali bin Shabbah Al- Baldani berkata: "Inilah wasiat Imam Syafi'i yang diberikan
kepada para sahabatnya, 'Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah
adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata, Tuhan semesta alam
yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan
orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Allah membangkitkan orang dari kubur
dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan
amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah subhanahu wa ta'alamembalas hambaNya
sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi
Insya Allah. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah kalam Allah, bukan makhluk ciptaanNya.
Sesungguhnya Allah di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata
telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan
Dia berada di atas 'Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha
Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah kehendaki dan Dia tetapkan dalam
qadha' qadarNya.
Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasul shallallahu 'alaihi wasallamadalah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu'anhum . Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan
memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh
maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang
berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan sha lat. Tidak boleh
membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di
tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun
diharamkan. Dan nikah mut'ah adalah haram.
Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah, konsisten dengan sunnah dan atsar dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid'ah dan hawa nafsu.
Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum'at, jama'ah dan sunnah
(Rasul). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka
bimbinglah aku membaca "Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan 'abduhu
warasuluh".
Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu'aib tentang wasiat Imam Syafi'i adalah, 'Aku
tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa
besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik
atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah subhanahu wa
ta'ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi
mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah subhanahu wa ta'ala tidak ridha dengan kebur ukan dan
kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan
meridhainya. Orang yang baik dari umat Muhammad masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi
karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia
menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan
bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari,
Muslim dan lainnya).
Aku mengakui hak salaf yang dipilih oleh Allah subhanahu wa ta'ala untuk menyertai NabiNya,
mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan
ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar
kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu 'anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat
hati dan lisanku, bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang
diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur'an
apakah makhluk atau bukan) adalah bid'ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan
Al-Qur'an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur'an itu makhluk") adalah bid'ah.
Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut. (Lihat Al-Amru bil Ittiba', As-
Suyuthi, hal. 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima'ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165).
Kesimpulan wasiat di atas yaitu:
Aqidah Imam Syafi'i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah;
Sumber aqidah Imam Syafi'i adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan:
"Sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah
atau Sunnah RasulNya `. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah,
maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a'lam." ( Manaqibusy Syafi'i,
1/470&475);
Manhaj Imam Syafi'i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan
menolak apa yang ditolak oleh Allah dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa'
(Allah bersemayam di atas), ru'yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan
lain sebagainya;
Dalam hal sifat-sifat Allah, Imam Syafi'i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil
(meniadakan makna tersebut) apalagi ta'thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: "Hadits itu
berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih
mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama."(Al-Mizanul Kubra, 1/60; Ijtima'ul Juyusy, 95).
Imam Syafi'i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah yang harus diimani, maka beliau menjawab,
'Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh
NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai
kepadanya karena Al-Qur'an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka
barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya
hujjah, ia adalah ma'dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama- nama dan sifat-sifat
Allah) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah memberitahukan bahwa Dia
memiliki sifat "Yadaini" (dua tangan), dengan firmanNya: "Tetapi kedua tangan Allah terbuka" (Al-
Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya: "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
wajahNya" (Al-Qashash: 88)." (Manaqib Asy-Syafi'i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I'tiqad Ahlis
Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A'lam An-Nubala', 10/79-80; Ijtima' Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul
Qayyim, 94).
Kata-kata "As-Sunnah" dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi'i dimaksudkan untuk tiga arti.
Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah ` berarti lawan dari bid'ah.
Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra'yu). Berarti ilmu
tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya.
Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke
dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung". (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya'rani, 1/60).
Ketiga, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah `
selain Al-Qur'an.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi'i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga
berwasiat: "Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya."
(Al-Adab Asy-Syar'iyah, Ibnu Muflih, 1/231).
"Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi `." (Al-Mizanul Kubra, 1/60)
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi'i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin
Hanbal, murid Imam Syafi'i sendiri yang menurut Imam Nawawi : "Imam Ahmad adalah imamnya
Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits." (Al-Majmu', 1/10). (Abu Hamzah).

Sabtu, 28 Agustus 2010

Majelis Tadabbur Al-Qur'an: Pola Pikir Qur'ani Seorang Beriman Sikap terhadap Keluarga dan Teman

Majelis Tadabbur Al-Qur'an: Pola Pikir Qur'ani Seorang Beriman Sikap terhadap Keluarga dan Teman

majelis tadabbur al-qur'an

CARA CEPAT MERAIH KEIMANAN Kami mudahkan Al-Qur'an untuk diingat. Adakah yang mengambil perhatian? (Surat al-Qamar: 17)

PERTANYAAN 1

Bagaimana memahami keberadaan Allah?

Tumbuhan, binatang, lautan, gunung-gunung, dan manusia disekitar kita, dan semua jasad renik yang tidak kasat mata – hidup ataupun mati, merupakan bukti nyata adanya Kebijakan Agung yang menciptakannya. Demikian pula dengan kesetimbangan, keteraturan dan penciptaan sempurna yang nampak di seluruh jagat. Semuanya membuktikan keberadaan Pemilik pengetahuan agung, yang menciptakannya dengan sempurna. Pemilik kebijakan dan pengetahuan agung ini adalah Allah.

Sistem-sistem sempurna yang diciptakanNya serta sifat-sifat yang mengagumkan pada setiap mahluk, hidup maupun mati, menimbulkan kesadaran akan keberadaan Allah. Kesempurnaan ini tertulis dalam Al-Qur’an:

Dia menciptakan tujuh langit yang berlapis-lapis. Tak akan ditemui sedikit cacatpun dari ciptaanNya. Perhatikan berkali-kali - apakah engkau melihat kekurangan padanya? Lalu, perhatikanlah sekali lagi. Matamu akan silau dan lelah! (Surat Al-Mulk: 3-4)

PERTANYAAN 2

Bagaimana cara mengenal Allah?

Ciptaan yang sempurna di seluruh jagat raya menunjukkan kekuasaan Allah Yang Maha Agung.

Allah sendiri telah memperkenalkan diriNya kepada kita melalui Al-Qur’an - wahyu yang diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk yang benar bagi kehidupan. Semua sifat-sifat Allah yang mulia disampaikan kepada kita di dalam Al-Qur’an. Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Meliputi seluruh alam, Maha Melihat dan Maha Mendengar atas segala sesuatu. Dia lah Pemilik dan Tuhan satu-satunya atas langit dan bumi dan segala sesuatu di antaranya. Dia lah penguasa seluruh kerajaan langit dan bumi.

Dialah Allah – tiada tuhan selain Dia. Dia mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia lah Allah – tiada tuhan selain Dia. . . . MilikNya segala nama-nama yang baik. Segala yang di langit dan di bumi bertasbih kepadaNya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Surat Al-Hasr: 22-24)

PERTANYAAN 3

Mengapa kita diciptakan?

Dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan mengapa kita diciptakan:

Aku ciptakan jin dan manusia semata-mata untuk menyembahKu. (Surat Az-Zariyat: 56)

Seperti disebutkan dalam ayat ini, keberadaan manusia di bumi ini semata-mata untuk menjadi hamba Allah, untuk menyembahNya dan untuk memperoleh ridhaNya. Penghambaan manusia kepada Allah merupakan batu ujian selama ia hidup di muka bumi.


PERTANYAAN 4

Mengapa kita diuji?

Allah menguji manusia di muka bumi untuk memisahkan antara mereka yang beriman dan mereka yang tidak beriman, serta untuk menentukan siapa yang terbaik amal perbuatannya. Oleh karena itu, pengakuan seperti “aku beriman” tanpa bukti tindakan yang sesuai dengannya tidak lah cukup. Di sepanjang hayatnya, manusia diuji dalam hal keimanan dan keta’atannya kepada Allah, termasuk kegigihannya dalam memperjuangkan agama Allah. Pendek kata, diuji dalam ketabahan sebagai hamba Allah dalam berbagai kondisi dan lingkungan yang dikehendakiNya. Ini dinyatakan Allah dalam ayat berikut:

Dia Yang Mematikan dan Menghidupkan untuk menguji siapa di antara kamu yang terbaik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Surat Al-Mulk: 2)

PERTANYAAN 5

Bagaimana cara mengabdi kepada Allah?

Menjadi hamba Allah berarti menyerahkan seluruh hidup kita untuk tujuan mencapai kehendak dan ridhaNya. Yakni beramal sebaik mungkin tanpa henti untuk mendapatkan ridha Allah, hanya takut kepada Allah dan mengarahkan seluruh pikiran dan perkataan serta perbuatan untuk tujuan tersebut. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa penghambaan kepadaNya meliputi seluruh kehidupan individu:

Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’ (Surat Al-An’am: 162)

PERTANYAAN 6

Mengapa agama diperlukan?

Yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang meyakini keberadaan Allah adalah mempelajari apa-apa yang diperintahkan dan hal-hal yang disukai Penciptanya. Dia lah yang memberinya ruh dan kehidupan, makanan, minuman dan kesehatan. Selanjutnya dia harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk patuh kepada perintah-perintah Allah dan mencari ridhaNya.

Agama lah yang membimbing kita kepada moral, perilaku dan cara hidup yang diridhai Allah. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang patuh kepada agama berada di jalan yang benar, sedangkan yang lainnya akan tersesat.

Dia yang dadanya terbuka untuk Islam mendapat cahaya dari Tuhannya. Sungguh celaka orang-orang yang berkeras untuk tidak mengingat Allah! Mereka dalam kesesatan yang nyata. (Surat az-Zumar: 22)

PERTANYAAN 7

Bagaimana cara menjalankan agama (dien)?

Orang yang beriman kepada Allah dan menghambakan diri kepadaNya, mengatur hidupnya agar sesuai dengan seruan Allah dalam Al-Qur’an. Dia menjadikan agama sebagai petunjuk hidupnya. Patuh kepada hal-hal yang baik menurut hati nuraninya, dan meninggalkan segala yang buruk yang ditolak hati nuraninya.

Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menciptakan manusia agar siap untuk menghidupkan agamaNya:

Maka, teguhkanlah pengabdianmu kepada Agama yang benar yang Allah ciptakan untuk manusia. Tiada yang mampu merubah ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Surat Ar-Rum: 30)

PERTANYAAN 8

Dapatkah moral tegak tanpa agama?

Pada lingkungan masyarakat yang tak beragama, orang cenderung melakukan beragam tindakan yang tak bermoral. Perbuatan buruk seperti penyogokkan, perjudian, iri hati atau berbohong merupakan hal yang biasa. Hal demikian tidak terjadi pada orang yang ta’at kepada agama. Mereka tidak akan melakukan semua perbuatan buruk tadi karena mengetahui bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya di akhirat kelak.

Sukar dipercaya jika ada orang mengatakan, “Saya ateis namun tidak menerima sogokan”, atau “Saya ateis namun tidak berjudi”. Mengapa? Karena orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mempercayai adanya pertanggungjawaban di akhirat, akan melakukan salah satu hal di atas jika situasi yang dihadapinya berubah.

Seseorang yang mengatakan, “Saya ateis namun tidak berjinah” cenderung melakukannya jika perjinahan di lingkungan tertentu dianggap normal. Atau seseorang yang menerima sogokan bisa saja beralasan, “Anak saya sakit berat dan sekarat, karenanya saya harus menerimanya”, jika ia tidak takut kepada Allah. Di negara yang tak beragama, pada kondisi tertentu maling pun bisa dianggap sah-sah saja. Contohnya, masyarakat tak beragama bisa beranggapan bahwa mengambil handuk atau perhiasan dekorasi dari hotel atau pusat rekreasi bukanlah perbuatan pencurian.

Seorang yang beragama tak akan berperilaku demikian, karena ia takut kepada Allah dan tak akan pernah lupa bahwa Allah selalu mengetahui niat dan pikirannya. Dia beramal setulus hati dan selalu menghindari perbuatan dosa.

Seorang yang jauh dari bimbingan agama bisa saja berkata “Saya seorang ateis namun pema’af. Saya tak memiliki rasa dendam ataupun rasa benci”. Namun sesuatu hal dapat terjadi padanya yang menyebabkannya tak mampu mengendalikan diri, lalu mempertontonkan perilaku yang tak diinginkan. Dia bisa saja melakukan pembunuhan atau mencelakai orang lain, karena moralnya berubah sesuai dengan lingkungan dan kondisi tempat tinggalnya.

Sebaliknya, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak kan pernah menyimpang dari moral yang baik, seburuk apapun kondisi lingkungannya. Moralnya tidak “berubah-ubah” melainkan tetap kokoh. Orang-orang beriman memiliki moral yang tinggi. Sifat-sifat mereka disebut Allah dalam ayatNya:

Mereka yang teguh dengan keyakinannya kepada Allah dan tidak mengingkari janji; yang menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya dan takut kepada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang buruk; mereka yang sabar untuk mencari perjumpaan dengan Tuhan mereka, dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian harta yang kami berikan kepadanya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menolak kejahatan dengan kebaikan. Merekalah yang mendapat kedudukan yang tinggi. (Surat Ar-Ra’d: 20-22)

PERTANYAAN 9

Apa yang terjadi dengan sistem sosial jika tidak ada agama?

Konsep pertama yang akan hilang pada sebuah lingkungan tak beragama adalah konsep keluarga. Nilai-nilai yang menjaga keutuhan keluarga seperti kesetiaan, kepatuhan, kasih-sayang dan rasa hormat akan ditinggalkan sama sekali. Harus diingat bahwa keluarga merupakan pondasi dari sistem kemasyarakatan. Jika tata nilai keluarga runtuh, maka masyarakat pun akan runtuh. Bahkan bangsa dan negara pun tidak akan ada lagi, karena seluruh nilai moral yang menyokongnya telah musnah.

Lebih jauh lagi, tak akan ada lagi rasa hormat dan kasih-sayang terhadap orang lain. Ini mengakibatkan anarki sosial. Yang kaya membenci yang miskin, yang miskin membenci yang kaya. Angkara murka tumbuh pada mereka yang merasa dirintangi, hidup susah atau miskin. Atau menimbulkan agresi terhadap bangsa lain. Karyawan bersikap agresif kepada atasannya. Demikian pula atasan kepada bawahannya. Para bapak berpaling dari anaknya, dan anak berpaling dari bapaknya.

Sebab dari pertumpahanan darah yang terus-menerus dan “berita-berita kriminalitas” di surat kabar adalah ketiadaan agama. Setiap hari dapat kita baca tentang orang-orang yang saling bunuh karena alasan yang sangat sepele.

Orang yang mengetahui bahwa ia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak, tidak akan melakukan pembunuhan. Dia tahu bahwa Allah melarang manusia melakukan kejahatan. Ia selalu menghindari murka Allah karena rasa takutnya kepadaNya.

Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya. Dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Surat al-A’raf: 56)

Tindakan bunuh diri pun disebabkan oleh ketiadaan agama. Orang yang melakukan bunuh diri sama saja dengan melakukan pembunuhan. Orang yang hendak bunuh diri karena ditinggal pacar, misalnya, harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebelum melakukannya: Apakah ia akan melakukan bunuh diri jika pacarnya menjadi cacat? atau menjadi tua? atau jika wajah pacarnya terbakar? Tentunya tidak. Dia terlalu berlebihan menilai pacarnya seolah sebanding dengan Allah. Bahkan menganggap pacarnya lebih penting dari Allah, lebih penting dari hari akhirat dan dari agama. Ia lebih mempertaruhkan jiwanya bagi pacarnya tersebut dibanding bagi Allah.

Orang yang dibimbing Al-Qur’an tidak akan melakukan hal semacam itu, bahkan tidak akan terlintas sedikitpun dalam benaknya. Seorang yang beriman menyerahkan hidupnya hanya untuk keridhaan Allah, dan menjalani dengan sabar segala kesusahan dan masalah yang Allah ujikan padanya di dunia ini. Ia pun tidak lupa bahwa kesabarannya itu akan mendapatkan balasan berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat.

Pencurian pun merupakan hal yang sangat biasa pada masyarakat yang tak beragama. Seorang pencuri tak pernah berpikir seberapa besar kesusahan yang ditimbulkannya terhadap orang yang dicurinya. Harta yang dikumpulkan korbannya puluhan tahun diambilnya dalam semalam saja. Ia tak peduli seberapa besar kesusahan yang akan diderita korbannya. Mungkin saja ia pernah sadar dan menyesali perbuatannya yang telah menimbulkan kesusahan pada orang lain. Jika tidak, keadaannya menjadi lebih buruk. Itu berarti bahwa hatinya telah membatu dan selalu cenderung untuk melakukan segala tindakan yang tak bermoral.

Dalam masyarakat yang tak beragama, nilai-nilai moral seperti keramahan, mau berkorban untuk orang lain, solidaritas dan sikap murah hati telah lenyap sama sekali. Orang-orangnya tidak menghargai orang lain sebagaimana layaknya manusia. Bahkan ada yang memandang orang lain sebagai mahluk yang berevolusi dari kera. Tak satu pun dari mereka mau menerima, melayani, menghargai atau memberikan sesuatu yang baik kepada orang lain. Apalagi terhadap mereka yang dianggapnya sebagai berasal dari kera.

Orang-orang yang berpikiran seperti ini tidak menghargai orang lain. Tak satu pun memikirkan kesehatan, kesejahteraan atau kenyamanan orang lain. Mereka tak peduli jika orang lain terluka, atau pernah berusaha agar orang lain terhindar dari kecelakaan semacam itu.

Di rumah sakit, misalnya, orang yang hampir meninggal dibiarkan begitu saja terlentang di ranjang-gotong dalam jangka waktu yang tak tentu; tak seorangpun pun peduli kepadanya. Contoh lain misalnya, pemilik restoran yang menjalankan restorannya tanpa peduli dengan kebersihan. Tempatnya yang kotor dan tidak sehat tak digubrisnya, tidak peduli dengan bahaya yang mungkin ditimbulkan terhadap kesehatan orang lain yang makan di sana. Ia hanya peduli kepada uang yang dihasilkannya. Ini hanya sebagian kecil contoh yang kita temui sehari-hari.

Logikanya, orang hanya baik terhadap orang lain jika bisa mendapat imbalan yang menguntungkan. Namun bagi mereka yang menjalankan standar moral Al-Qur’an, menghargai orang lain merupakan pengabdian kepada Allah. Mereka tak mengharapkan imbalan apa pun. Semuanya merupakan usaha untuk mencari ridha Allah dengan terus-menerus melakukan amal baik, dan berlomba-lomba dalam kebaikan.


PERTANYAAN 10

Apa manfa’at material dan spiritual bagi masyarakat jika mereka ta’at pada Al-Qur’an?

Perlu kami ingatkan bahwa pengertian agama di sini adalah cara hidup yang bermoral. Cara hidup yang disukai Allah. Cara yang dipilihNya dan yang paling tepat bagi semua jenis manusia. Cara hidup yang terbebas dari takhyul-takhyul dan mitos-mitos, dan sepenuhnya di bawah bimbingan Al-Qur’an.

Agama menciptakan lingkungan moral yang sangat aman dan nyaman. Sikap anarkis yang menyebabkan kerusakan pada bangsa negara terhenti sama sekali karena rasa takut kepada Allah. Orang tidak lagi melakukan tindakan yang merugikan ataupun berbuat kerusuhan. Orang-orang yang memegang nilai-nilai moral siap bangkit bagi bangsa dan negaranya serta tidak hendak berhenti untuk berkorban. Orang-orang semacam ini selalu berusaha untuk kesejahteraan dan keamanan negaranya.

Di dalam masyarakat yang mengamalkan moral Al-Qur’an, orang-orangnya sangat menghargai satu sama lain. Setiap orang selalu berusaha agar orang lain merasa nyaman dan aman, karena menurut ajaran islam, solidaritas, persatuan dan kerjasama merupakan hal yang sangat penting. Setiap orang merasa berkewajiban untuk mendahulukan kenyamanan dan kepentingan orang lain. Ayat berikut merupakan contoh moralitas dari orang-orang yang beriman:

Mereka yang lebih dulu tinggal di Madinah, dan telah beriman sebelum mereka datang, mencintai mereka yang datang kepada mereka untuk berhijrah, dan tak terbetik keinginan di hati mereka akan barang-barang yang diberikan kepada mereka, melainkan mendahulukan mereka dibanding dirinya sendiri meskipun mereka sendiri sangat membutuhkannya. Siapa yang terpelihara dari ketamakan, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al-Hashr: 9)

Dalam lingkungan yang orang-orangnya takut kepada Allah, setiap orang berusaha untuk kesejahteraan masyarakat. Tak seorang pun bersikap boros. Setiap orang bekerja sama dan bersatu padu sambil memperhatikan kepentingan orang lain. Hasilnya berupa masyarakat yang kaya dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.

Masyarakat demikian kaya akan moral dan material. Kekacauan yang mengandung sikap memberontak sama sekali sirna. Setiap orang dapat mengekang hawa nafsunya dan setiap masalah diselesaikan dengan cara yang logis. Segala persoalan dipecahkan dengan kepala dingin. Dan kehidupan, karenanya, selalu aman tentram.
PERTANYAAN 11

Apa manfa’at keta’atan pada moral Al-Qur’an bagi kehidupan keluarga?

Al-Qur’an mewajibkan sikap hormat kepada ibu dan bapak. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Telah Kami perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan masa menyapih selama dua tahun: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang-tuamu. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali. (Surah Luqman: 14)

Dalam keluarga yang mengamalkan moral Al-Qur’an tidak terdapat pertengkaran ataupun pertentangan. Selalu nampak sikap hormat yang tinggi kepada ibu, bapak dan anggota keluarga yang lain. Setiap orang hidup dalam lingkungan yang menyenangkan.


PERTANYAAN 12

Apa manfa’at keta’atan pada moral Al-Qur’an bagi sistem bernegara?

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa keta’atan merupakan sifat yang positif. Seseorang yang memiliki moral Qur’ani akan sepenuhnya patuh dan hormat terhadap negaranya. Dalam masyarakat Islam, setiap orang berusaha untuk kesejahteraan negara dan bangsanya. Tidak pernah berontak terhadap negara, melainkan mendukung baik secara spiritual maupun material.

Dalam masyarakat yang terbentuk dari orang-orang yang takut kepada Allah, kasus-kasus hukum tak pernah sampai ke tingkat persidangan. Seperseribunya pun dari pelanggaran hukum yang terjadi pada masyarakat sekarang ini tak pernah dialami.

Mengatur negara menjadi jauh lebih mudah, karena pemerintah tidak perlu mengurus kasus-kasus anarki, terorisme, kejahatan, pembunuhan. Seluruh kekuatan pemerintah dipusatkan pada pengembangan dan peningkatan kesejahteraan negeri, di sektor dalam maupun luar negeri. Karenanya, menghasilkan negara yang sangat kuat.


PERTANYAAN 13

Apa manfa’at keta’atan pada moral Al-Qur’an bagi bidang seni?

Orang-orang yang ta’at pada moral Al-Qur’an saling menghargai satu dengan lainnya. Mereka akan selalu berusaha menciptakan kondisi lingkungan yang telah disetujui bersama. Lingkungan yang indah dalam segala segi estetika. Karena rasa rindu pada surga, sarana-sarana dunia digunakan sepenuhnya untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan menyenangkan. Semuanya terasa indah di mata, di telinga dan di seluruh indra lainnya. Karenanya, seni dan estetika berkembang dalam semua aspek kehidupan mereka.

Lebih dari itu, orang yang ta’at kepada agama memiliki hati yang bersih. Karenanya tak ada tekanan dalam pikirannya, sehingga dapat menciptakan karya seni orisinil yang indah dan unik. Selain itu, karya mereka ditujukan untuk menyajikan keindahan dan untuk menyenangkan sesamanya yang ta’at, secara tulus hati dan sungguh-sungguh.


PERTANYAAN 14

Apa manfa’at keta’atan pada moral Al-Qur’an bagi sistem pendidikan?

Pertama-tama, menjalankan moral Al-Qur’an akan menghasilkan anak-anak dan pemuda yang dewasa dan bijaksana. Perilaku tak acuh tidak akan dimiliki oleh anak muda yang ta’at pada Al-Qur’an. Keta’atan pada Al-Qur’an, karenanya, menghasilkan generasi yang perilakunya baik, pikirannya terbuka, patuh, mau mengalah serta produktif. Dinamisme, gairah serta semangat mereka diarahkan pada perbuatan baik. Ketekunan dan daya pikir mereka berkembang. Dalam lingkungan demikian, pelajarnya tidak hanya mengutamakan kelulusan atau penghindaran dari hukuman, melainkan berkeinginan untuk memberikan kontribusi pada bangsa dan negaranya.

Tak pernah terdengar adanya pelanggaran disiplin di sekolah. Lingkungan pendidikannya sangat tentram, konstruktif dan produktif. Kerja sama antara guru dan pelajar berlandaskan pada kepatuhan, rasa hormat dan toleransi. Para pelajarnya menjadi sangat hormat dan patuh pada negara dan aparat keamanan. Demonstrasi-demonstrasi pelajar yang sering kita lihat sekarang ini tidak pernah terjadi karena memang tidak ada perlunya.


PERTANYAAN 15

Apa manfa’at keta’atan pada moral Al-Qur’an bagi lingkungan kerja?

Dalam masyarakat yang menjalankan moral Al-Qur’an, lingkungan kerjanya mengandung sikap saling memahami, kerjasama dan keadilan. Pemberi kerja memperhatikan kesehatan karyawannya dan memelihara kesehatan lingkungan kerja dengan sangat baik. Dengan pikiran bahwa karyawan akan bekerja dalam waktu yang cukup lama, mereka selalu berusaha menciptakan fasilitas kerja yang indah dan menarik. Karyawannya digaji dengan upah yang layak. Tak satu karyawanpun mengalami perlakuan buruk. Pihak atasan selalu memperhatikan kondisi keluarga setiap karyawan. Mereka selalu bersungguh-sungguh dan berusaha melindungi keluarga karyawan. Tak pernah ada penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah. Perilaku tak bermoral seperti ucapan dengki, atau mencegah keberhasilan orang lain karena rasa cemburu, tak pernah terjadi.

Hubungan antara pemberi kerja dan karyawan bukan berdasarkan pada kepentingan pribadi dan akal-akalan, melainkan berdasarkan kerjasama dan rasa saling percaya. Karyawan memperhatikan kepentingan dan tujuan perusahaan. Mereka tak pernah boros dan berpikiran bahwa “Bos memang layak membayarnya”. Mereka akan bekerja sebaik-baiknya. Moral yang baik membuatnya tak pernah disalahkan, bahkan dilindungi oleh atasan.


PERTANYAAN 16

Apa arti “mempersekutukan” Allah atau syirik?

Syirik berarti menganggap seseorang atau benda lain atau suatu konsep sebagai wujud yang setara atau lebih tinggi dari Allah. Anggapan seperti ini bisa dari segi penilaian, sifat keberartian, rasa lebih menyukai, atau keunggulan, yang disertai dengan perbuatan-perbuatan yang mendukungnya. Hal seperti inilah yang disebut sebagai “mempersekutukan Allah dengan Tuhan yang lain”. Dengan kata lain, menganggap bahwa seseorang atau benda lain memiliki sifat-sifat Allah, sama artinya dengan mempersekutukan Allah.

Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa dosa syirik tak akan diampuni:

Allah tak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Surat An-Nisa: 48)


PERTANYAAN 17

Apa arti “memuja berhala”?

Menurut adat, kata “memuja berhala” berarti menyembah benda atau wujud tertentu. Namun sebenarnya, maknanya lebih luas dan tidak terbatas pada pengertian tersebut.

Di setiap masa, selalu ada manusia yang mempersekutukan Allah, mengambil tuhan lain dan menyembah pujaannya atau patung-patung. Memberhalakan sesuatu tidak selalu berarti bahwa pemujanya mengatakan “ini tuhan yang saya sembah”. Tidak juga berarti bahwa ia mesti bersujud dihadapannya.

Pada dasarnya, menyembah berhala dapat berarti rasa suka seseorang terhadap sesuatu melebihi rasa sukanya kepada Allah. Misalnya, lebih menyukai ridha seseorang dibanding ridha Allah, atau lebih takut kepada seseorang dibanding rasa takut kepada Allah, atau lebih mencintai seseorang dibanding cintanya kepada Allah.

Di dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa sesuatu yang disekutukan dengan Allah tidak akan bisa menolong orang yang mempersekutukannya.

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah adalah berhala. Dan kamu membuat dusta. Sungguh yang kamu sembah itu tak mampu memberikan rezki kepadamu. Maka mintalah rezki itu dari sisi Allah dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepadaNya. KepadaNya lah engkau akan dikembalikan. (Surat Al-Ankabut: 17)


PERTANYAAN 18

Bagaimana menjauhkan diri dari penyembahan berhala?

Pertama-tama, seseorang harus menegaskan dalam hatinya bahwa Allah lah satu-satunya Tuhan. Dia lah pemilik segala kekuasaan, tak ada sesuatu pun selain Allah yang berkuasa untuk memberi pertolongan ataupun mendatangkan bahaya. Seseorang yang meyakini kebenaran ini, hanya mengabdi kepada Allah dan tidak pernah mempersekutukanNya.

Allah mengingatkan manusia untuk berpaling hanya kepadaNya agar selamat dari syirik.

Hanya Dia lah yang kamu seru, dan jika Dia menghendaki, Dia menghilangkan kesusahan kamu; kemudian engkau tinggalkan apa yang engkau persekutukan denganNya. (Surat al-An’am: 41)

Perubahan radikal yang dialami seseorang yang terbebas dari mempersekutukan Allah dan kembali hanya kepada Allah, mula-mula terjadi di dalam hatinya. Pandangan dan pikiran orang ini selanjutnya berubah seratus delapan puluh derajat. Yang tadinya mengejar kehidupan di bawah pengaruh faham tertentu dan bersikap tak peduli (jahil), kini menjalani hidupnya semata untuk mengejar ridha Allah.


PERTANYAAN 19

Apa yang dimaksud dengan mencari ridha Allah pada tingkatan yang tertinggi?

Apa yang akan Anda lakukan jika tempat tinggal Anda mengalami bencana banjir? Apakah Anda akan naik ke lantai tertinggi dan menunggu tim penyelamat, ataukah naik dari lantai ke lantai sejalan dengan naiknya air? Saat Anda naik ke atap, apakah Anda akan menggunakan tangga ataukah elevator? Jelas bahwa tindakan yang paling bijaksana pada kondisi seperti itu adalah memilih alternatif yang akan menyelamatkan Anda, yakni alternatif yang memberikan hasil tercepat. Alternatif lainnya tak perlu dilihat lagi. Dalam situasi ini, yang terbaik adalah naik ke lantai teratas dengan menggunakan elevator. Demikian lah cara “memilih jalan terbaik”.

Kaum yang beriman menggunakan semua sarana material dan spiritual pada setiap jam, bahkan setiap detik kehidupannya sesuai dengan kehendak Allah. Jika harus memilih di antara beberapa alternatif, dia memilihnya dengan arif dan mendengarkan hati nuraninya. Dan pilihan yang diambilnya ditujukan untuk mengharap ridha Allah. Dengan cara ini, ia bertindak sesuai dengan ridha Allah pada tingkatan yang tertinggi.


PERTANYAAN 20

Apa arti beriman sepenuh hati?

Setiap orang pasti tahu bahwa tangannya akan terbakar jika terkena api. Ia tak perlu berpikir lagi apakah akan benar-benar terbakar atau tidak. Artinya, ia memiliki keyakinan penuh bahwa api tersebut akan membakarnya. Keyakinan seperti ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

Ini lah (Qur’an) pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang sungguh-sungguh meyakininya. (Surat Al-Jatsiyyah: 20)

“Memiliki keimanan sepenuh hati” artinya mempercayai keberadaan Allah dan keesaannya, hari kebangkitan, surga dan neraka dengan sepenuh-penuhnya keyakinan, tanpa ragu sedikitpun akan kebenarannya. Layaknya mempercayai keberadaan orang-orang disekitar kita yang kita lihat dan kita ajak bicara, seperti halnya pengetahuan intuitif terhadap contoh api di atas. Keimanan penuh yang tumbuh di hati orang tersebut akan mendorongnya untuk selalu beramal dengan cara yang diridhai Allah di setiap saat.
PERTANYAAN 21

Bagaimana cara mengetahui tindakan kita yang mana yang diridhai Allah?

Pada orang yang takut kepadaNya, Allah selalu memberi tahu tindakan mana yang paling tepat melalui hati nurani. Dalam sebuah ayat, Allah berfirman:

Hai orang-orang beriman! Jika engkau takut (bertaqwa) kepada Allah, niscaya Dia memberimu furqon (yang dengannya engkau membedakan yang benar dari yang salah) dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Surat Al-Anfal: 29)

Mesti diingat bahwa suara pertama yang didengar individu di dalam hatinya adalah suara nurani yang membantunya membedakan yang benar dari yang salah. Suara ini lah yang memberitahukan perbuatan yang diridhai Allah. Orang yang takut kepada Allah sampai kepada kebenaran dengan jalan mendengarkan kepada hati nuraninya.


PERTANYAAN 22

Adakah suara lain di dalam hati selain suara hati nurani?

Semua alternatif lain yang muncul setelah kata hati adalah “suara hawa nafsu” yang berusaha menghapus kata hati. Hawa nafsu berusaha sekuat tenaga untuk mencegah seseorang untuk melakukan perberbuatan yang benar dan mendorong kepada perbuatan buruk.

Suara ini mungkin tidak nampak jelas. Bisa muncul berupa serangkaian alasan yang nampaknya masuk akal. Pengaruhnya bisa menyebabkan seseorang berpikiran “semua ini (hati nurani) tak berarti sama sekali”. Kenyataan ini disebutkan Allah dalam Al-Qur’an:

“Dan jiwa yang Allah sempurnakan dan ilhamkan padanya pengetahuan akan dosa dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan jiwa.” (Surat Asy-Syams: 7-9)

Ayat di atas menyatakan bahwa manusia merupakan sasaran dosa (hawa nafsu), namun diberi kesadaran bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menghindarinya. Manusia diuji untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.


PERTANYAAN 23

Bagaimana cara mata melihat?

Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu tanpa mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Surat An-Nahl: 78)

Proses penglihatan terjadi secara bertahap. Saat mata melihat benda, kumpulan cahaya (foton) bergerak dari benda menuju mata. Cahaya ini menembus lensa mata yang selanjutnya membiaskannya dan menjatuhkannya secara terbalik di retina mata – bagian belakang mata. Sinar yang jatuh di retina mata ini di ubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan diteruskan oleh syaraf-syaraf neuron ke sebuah bintik kecil di bagian belakang otak yang disebut pusat penglihatan. Di dalam pusat penglihatan inilah, sinyal listrik ini diterima sebagai sebuah bayangan setelah mengalami sederetan proses. Dalam bintik kecil inilah sebenarnya penglihatan terjadi, di bagian belakang otak yang sama sekali gelap dan terlindung dari cahaya.

Saat mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita hanya melihat efek-efek impuls yang sampai ke mata kita dan diteruskan ke otak kita setelah diubah menjadi sinyal-sinyal listrik. Jadi, saat kita mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita hanya melihat sinyal-sinyal listrik di dalam otak kita.

Buku yang sedang Anda baca serta pemandangan yang terbentang di kaki langit termuat dalam ruang kecil di dalam otak ini. Hal yang serupa terjadi dengan persepsi lain yang Anda tangkap melalui keempat indra lainnya.


PERTANYAAN 24

Apa maksud pernyataan bahwa materi merupakan “kumpulan persepsi-persepsi”?

Seluruh informasi yang kita miliki tentang dunia luar, sampai kepada kita melalui kelima indra kita. Dunia yang kita tahu terdiri dari apa yang kita lihat dengan mata, yang kita dengar lewat telinga, yang kita cium dengan hidung, yang kita rasa dengan lidah, dan yang kita rasa lewat sentuhan kulit. Riset modern mengungkapkan bahwa persepsi kita hanyalah respons-respons otak terhadap sinyal-sinyal listrik. Berdasarkan hal ini, orang yang kita lihat, warna-warna, rasa keras melalui sentuhan, dan segala sesuatu yang kita miliki dan yang kita terima sebagai dunia luar, hanyalah sinyal-sinyal listrik yang sampai ke otak kita.

Contohnya sebuah apel: Sinyal-sinyal listrik yang berkenaan dengan rasa, bau, rupa dan kekerasan buah apel sampai ke otak kita melalui syaraf-syaraf dan membentuk gambarannya di dalam otak. Jika syaraf menuju otak terputus, persepsi yang berkenaan dengan buah apel ini akan lenyap. Yang kita indra sebagai apel, sebenarnya merupakan kumpulan persepsi-persepsi yang sampai ke otak kita. Kita tak pernah bisa memastikan bahwa “kumpulan persepsi-persepsi” ini benar-benar ada di luar kita. Kita tak memiliki kesempatan untuk bisa keluar dari otak kita dan menyentuh sesuatu yang ada di luar: yang kita miliki hanyalah persepsi-persepsi kita.


PERTANYAAN 25

Apakah keberadaan dunia luar suatu keharusan?

Kita tak pernah tahu apakah dunia luar benar-benar ada, karena setiap benda hanyalah kumpulan persepsi-persepsi. Dan persepsi-persepsi ini hanya ada dalam pikiran kita. Maka, satu-satunya dunia yang benar-benar ada adalah dunia persepsi-persepsi. Satu-satunya dunia yang kita tahu hanyalah dunia yang ada dalam pikiran kita; dunia yang dirancang, direkam, dan hidup di sana. Pendek kata, dunia yang diciptakan dalam pikiran kita. Itulah satu-satunya dunia yang kita yakini keberadaannya.


PERTANYAAN 26

Apakah kita tertipu oleh persepsi-persepsi tanpa ada korelasi material yang nyata?

Benar, kita tertipu dengan keyakinan pada persepsi-persepsi tanpa ada korelasi material yang nyata. Demikian ini karena kita tak pernah bisa membuktikan bahwa persepsi-persepsi yang kita tangkap melalui otak memiliki korelasi material. Persepsi-persepsi itu bisa saja timbul dari suatu sumber “buatan”. Kita sering mengalaminya dalam mimpi kita. Kita seolah mengalami suatu kejadian, melihat orang-orang, benda dan susunan-susunan yang seolah nyata. Padahal kenyataanya tidak ada, hanya persepsi-persepsi saja. Tak ada perbedan mendasar antara mimpi dan “dunia nyata”; keduanya sama-sama dialami dalam otak.


PERTANYAAN 27

Jika semua keberadaan material yang kita tahu hanyalah persepsi-persepsi, lalu apa itu otak?

Karena otak kita pun merupakan bagian dari dunia fisik seperti halnya tangan, kaki, atau benda lainnya, maka otak pun merupakan persepsi seperti yang lainnya. Mimpi merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan masalah ini. Anggaplah kita sedang melihat sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, kita memiliki tubuh khayalan, tangan khayalan, mata khayalan, dan otak khayalan. Jika dalam mimpi ini, kita ditanya, “Di mana Anda melihat?” Kita akan menjawab “saya melihat dalam otak saya”. Padahal sebenarnya, tidak ada otak di sana, melainkan hanya kepala dan otak khayalan. Wujud yang melihat bukanlah otak khayalan dalam mimpi, melainkan “wujud” yang derajatnya jauh lebih tinggi dari itu.


PERTANYAAN 28

Lalu siapa atau apa yang mengindra?

Sejauh ini, kita meyakini bahwa yang melakukan pengindraan adalah otak. Namun jika kemudian kita analisis otak ini, yang kita dapatkan hanyalah molekul-molekul lemak dan protein, yang juga ada pada organisme-organisme hidup lain. Artinya bahwa di dalam gumpalan daging yang kita sebut sebagai “otak” ini, tak ada sesuatu apapun yang bisa mengamati, yang memiliki kesadaran, atau yang menciptakan wujud yang kita sebut sebagai “diri pribadi”.

Jelas bahwa wujud yang melihat, mendengar dan merasakan ini bersifat supra-material. Wujud ini “hidup” dan tidak berupa materi ataupun gambaran dari materi. Wujud ini bersekutu dengan persepsi-persepsi di depannya dengan menggunakan gambaran tubuh kita.

Wujud ini adalah “ruh”. Allah menyatakannya dalam Al-Qur’an:

Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Allah. Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan tentangnya melainkan sedikit. (Surat Al-Isra’: 85)


PERTANYAAN 29

Karena dunia material yang kita indra hanyalah persepsi-persepsi yang dilihat oleh ruh, lalu apa yang menjadi sumber persepsi-persepsi ini?

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, materi tidak memiliki wujud yang dapat mengatur dirinya sendiri. Materi hanyalah sebuah persepsi, sesuatu yang sifatnya “artifisial” (buatan). Karenanya, persepsi-persepsi ini mestinya disebabkan oleh kekuatan lain. Dengan kata lain, persepsi adalah sesuatu yang diciptakan. Jelas bahwa ada Sang Pencipta. Yang menciptakan seluruh alam material, yakni kumpulan persepsi-persepsi, yang diciptakanNya tanpa henti. Pencipta ini adalah Allah Yang Maha Kuasa. Fakta bahwa langit dan bumi bukanlah sesuatu yang stabil, dan keberadaanya hanyalah karena diciptakan Allah. Semuanyanya akan lenyap setelah Dia menghentikan penciptaannya. Hal ini dijelaskan dalam ayat berikut ini:

Allah lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Sungguh jika keduanya lenyap, tak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya kecuali Allah. Sungguh Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Surat Fatir: 41)
PERTANYAAN 30

Apa yang dimaksud dengan Allah meliputi segala sesuatu dan Dia lebih dekat kepada kita dibanding urat leher kita sendiri?

Materi tersusun hanya dari persepsi-persepsi. Satu-satunya wujud nyata dan mutlak hanyalah Allah. Artinya, hanya Allah lah yang ada; segala sesuatu selain dia hanyalah wujud semu. Karenanya Allah “ada dimana-mana” dan meliputi segala sesuatu. Segala yang ada merupakan gambaran yang Allah proyeksikan kepada kita.

Karena setiap wujud material merupakan persepsi, maka ia tak dapat melihat Allah. Sebaliknya, Allah melihat seluruh materi yang diciptakannya dalam berbagai bentuknya. Artinya, kita tak dapat menangkap wujud Allah dengan mata kita, namun Allah meliputi kita dari dalam, dari luar, dalam pandangan dan pikiran. Kita tak mampu mengucapkan perkataan apapun selain dengan pengetahuan dan ijinNya, bahkan tanpa Dia bernafaspun tidak akan bisa.

Meskipun kita melihat persepsi-persepsi ini di sepanjang hidup kita, wujud terdekat kepada kita bukanlah salah satu di antaranya, melainkan Allah sendiri. Rahasia ayat berikut tersembunyi dalam kenyataan ini:

“Dia lah yang menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya; karena Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (sendiri). (Surat Qaf: 16)

Jika manusia berpikiran bahwa tubuhnya hanya terdiri dari “materi”, ia tidak akan dapat memahami fakta penting ini. Jika ia menganggap otaknya sebagai “dirinya”, maka letak dunia luar adalah 20-30 cm dari dirinya. Namun jika dia mengerti bahwa materi hanya lah imajinasi, maka pengertian luar, dalam, jauh ataupun dekat tak memiliki arti sama sekali. Allah meliputi dirinya dan Dia “sangat dekat” kepada dirinya.


PERTANYAAN 31

Apakah cinta saja, kepada Allah, tidak cukup? Apakah takut kepada Allah itu suatu keharusan?

Menurut Al-Qur’an, cinta sejati menuntut kepatuhan kepada Allah dan menghindari apa yang tidak diridhaiNya. Jika kita perhatikan kehidupan dan perbuatan orang-orang yang merasa yakin bahwa cinta saja sudah cukup, dapat kita lihat bahwa mereka tidak teguh dengan pendiriannya itu. Sebaliknya, seseorang yang mencintai Allah dengan setulus hati, sangat patuh kepada perintahNya. Ia menghindari hal-hal yang dilarangNya serta memelihara dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah. Ia menunjukkan cintanya dengan mencari ridha Tuhannya di setiap saat dengan rasa segan, keyakinan, kepatuhan dan kesetiaan kepadaNya.

Karena sikap prihatinnya itu, ia sangat takut akan kehilangan ridhaNya atau menimbulkan murkaNya. Mengungkapkan cinta hanya di bibir saja, namun hidup dengan melewati batas-batas yang dilarang Allah, tentunya merupakan sikap yang munafik. Allah memerintahkan manusia untuk takut kepadaNya:

Bertaubatlah kepadaNya dan takutlah kepadaNya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memepersekutukan Allah. (Surat Ar-Rum: 31)
PERTANYAAN 31

Apakah cinta saja, kepada Allah, tidak cukup? Apakah takut kepada Allah itu suatu keharusan?

Menurut Al-Qur’an, cinta sejati menuntut kepatuhan kepada Allah dan menghindari apa yang tidak diridhaiNya. Jika kita perhatikan kehidupan dan perbuatan orang-orang yang merasa yakin bahwa cinta saja sudah cukup, dapat kita lihat bahwa mereka tidak teguh dengan pendiriannya itu. Sebaliknya, seseorang yang mencintai Allah dengan setulus hati, sangat patuh kepada perintahNya. Ia menghindari hal-hal yang dilarangNya serta memelihara dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah. Ia menunjukkan cintanya dengan mencari ridha Tuhannya di setiap saat dengan rasa segan, keyakinan, kepatuhan dan kesetiaan kepadaNya.

Karena sikap prihatinnya itu, ia sangat takut akan kehilangan ridhaNya atau menimbulkan murkaNya. Mengungkapkan cinta hanya di bibir saja, namun hidup dengan melewati batas-batas yang dilarang Allah, tentunya merupakan sikap yang munafik. Allah memerintahkan manusia untuk takut kepadaNya:

Bertaubatlah kepadaNya dan takutlah kepadaNya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memepersekutukan Allah. (Surat Ar-Rum: 31)
PERTANYAAN 32

Seberapa besar mestinya rasa takut kita kepada Allah?

Setiap orang yang menyadari keberadaan Allah dan mengenal sifat-sifatNya yang agung merasa sangat takut kepada Allah. Selain Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah juga adalah Al-Qohhar (Maha Menguasai), Al-Hasib (Maha Membuat Perhitungan), Al-Muazzib (Maha Menghukum), Al-Muntaqim (Maha Penyiksa), Al-Saiq (Yang Memasukkan ke neraka). Karenanya, umat Islam takut kepada Allah yang gaib. Mereka mengetahui tak ada seorang pun yang bisa selamat dari hukumanNya, karena mereka tahu harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Mereka selalu berusaha menghindari perilaku yang tidak disukai Allah.

Harus difahami bahwa takut di sini memiliki konotasi yang berbeda dengan pengertian takut pada masyarakat tak beragama. Takut di sini memberikan rasa aman bagi yang mengimaninya, dan memotivasi untuk beramal mencari ridha Allah.

Berikut ini adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman:

Maka takutlah kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta ta’atlah; dan nafkahkanlah apa yang baik bagi dirimu. Barangsiapa terpelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat At-Taghabun: 16)
PERTANYAAN 33

Apakah Al-Qur’an dapat difahami setiap orang?

Allah menurunkan Al-Qur’an untuk menjadi petunjuk bagi semua orang. Itulah sebabnya Al-Qur’an sangat jelas dan mudah difahami. Allah pun menekankan sifat ini: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang terang.” (Surat Al-Maidah: 15) Ayat lain yang lebih mempertegas hal itu adalah:

Demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang nyata. Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. (Surat Al-Hajj: 16)

Namun, untuk dapat melihat kebijaksanaan dalam Al-Qur’an dan untuk memahami kemuliaannya, seseorang harus membacanya dengan hati yang tulus dan selalu berpikir sesuai dengan hati nuraninya.


PERTANYAAN 34

Bolehkah kita membaca Al-Qur’an setiap saat?

Al-Qur’an merupakan satu-satunya petunjuk bagi orang yang beriman di sepanjang hidupnya. Dalam sebuah ayatnya, Allah memerintahkan istri-istri Rasul untuk membaca dan mengingat ayat-ayat Allah serta hikmah (sunnah Nabi) di rumah-rumah mereka (Surat Al-Ahzab: 34). Praktek seperti ini diperintahkan pula kepada umat yang beriman saat itu. Ketika ayat ini sampai kepada mereka dengan jelas, mereka membaca naskah Al-Qur’an di rumah-rumah mereka serta menghapalnya. Bagi kita, akan lebih utama jika membaca Al-Qur’an sambil mengamalkannya dengan rajin.


PERTANYAAN 35

Apakah Al-Qur’an ditujukan bagi manusia di segala jaman?

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh dunia di sepanjang masa:

Inilah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Surat Ali Imran: 138)

Allah memberikan contoh-contoh dalam Al-Qur’an berdasarkan peristiwa-peristiwa di masa lampau agar manusia yang hidup di sepanjang jaman menjadi waspada dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Peristiwa-peristiwa serupa yang disebutkan dalam Al-Qur’an bisa saja dialami seseorang, bahkan di jaman sekarang ini.


PERTANYAAN 36

Benarkah Allah menjaga ayat-ayat Al-Qur’an dari perubahan hingga saat ini?

Al-Qur’an dilindungi Allah. Ia diturunkan 1400 tahun yang lalu dan tidak mengalami perubahan sedikitpun hingga saat ini. Kebenaran ini dinyatakan Allah dalam ayat berikut:

Kami lah yang menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sungguh Kami yang memeliharanya. (Surat Al-Hijr: 9)

Telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat merubah kalimat-kalimatnya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Surat al-An‘am: 115)

Janji Allah ini sudah cukup bagi orang-orang yang beriman. Malah, Allah telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab kebenaran yang mengandung keajaiban ilmiah dan keajaiban numerik.


PERTANYAAN 37

Apa keajaiban-keajaiban ilmiah dalam Al-Qur’an?

Meskipun Al-Qur’an diwahyukan 1400 tahun yang lalu, di dalamnya mengandung fakta-fakta ilmiah yang sama sekali tak diketahui pada saat itu. Fakta-fakta tersebut baru ditemukan pada jaman kita melalui peralatan ilmiah dan teknologi mutakhir. Ciri ini jelas menunjukkan keaslian Al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Allah. Berikut adalah beberapa contoh dari keajaiban tersebut:

# Temuan terbesar abad 2000 menyatakan bahwa alam semes
ta terus mengembang. Namun, fakta ini telah Allah sampaikan kepada kita 1400 tahun yang lalu dalam ayat ke-47 Surat Az-Zariyat:

Kamilah yang membangun alam semesta dengan kekuasan Kami, dan sungguh, Kami terus mengembangkannya. (Surat adh-Dhariyat: 47)

# Pergerakan benda-benda langit dalam orbitnya yang tetap, dinyatakan Al-Qur’an berabad-abad yang lampau:

Dan Dia lah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing bergerak dalam garis edarnya. (Surat al-Anbiya: 33)

Jika kita teliti makna kata Arabnya dari ayat yang menyebutkan kata ‘matahari’ dan ‘bulan’, kita akan mendapatkan sifat-sifat yang menarik. Dalam ayat-ayat tersebut, kata siraj (pelita) dan wahhaj (menyala terang) digunakan untuk matahari. Sementara untuk bulan digunakan kata munir (berkilau, menerangi). Kita tahu bahwa matahari menghasilkan panas dan sinar yang dahsyat sebagai akibat dari reaksi-reaksi nuklir di dalamnya, sementara bulan hanya memantulkan cahaya yang datang dari matahari. Pemisahan ini dinyatakan sebagai berikut:

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat tujuh langit dengan penuh serasi satu dengan lainnya, dan membuat bulan sebagai cahaya, dan membuat matahari sebagai pelita? (Surat Nuh: 15-16)

# Sifat angin sebagai sarana “penyerbukan” disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat ke-22:

Dan kami tiupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit, dan kami beri minum kamu dengan air itu. (Surat al-Hijr: 22)

Kata Arab “penyerbuk” merujuk pada efek terhadap tumbuhan maupun awan. Sains moderen dalam bidang ini menunjukkan bahwa angin memang memiliki kedua fungsi ini.

# Keajaiban Al-Qur’an lainnya ditegaskan dalam ayat berikut ini:

Dia menciptakan langit dan bumi untuk tujuan Kebenaran. Dia menutup malam atas siang, dan menutup siang atas malam. . . (Surat az-Zumar: 5)

Dalam ayat ini, saling menutupnya (membungkus) antara siang dan malam diuraikan dengan kata “takwir”. Dalam bahasa kita, kata ini berarti membuat sesuatu bertumpang tindih, terlipat seperti kain yang digulungkan. Dalam kamus bahasa Arab, kata ini menerangkan suatu tindakan membungkus sesuatu dengan melilitinya, seperti halnya membungkus kepala dengan turban. Karenanya, secara implisit ayat ini merupakan informasi akurat mengenai bentuk bumi. Sebuah ungkapan yang tepat bagi bentuk bumi yang bulat. Artinya, bulatnya bentuk bumi telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an pada abad ke-7.


PERTANYAAN 38

Adakah sistem pengkodean numerik dalam Al-Qur’an?

Al-Qur’an juga mengandung keajaiban numerik. Penyisipan angka “19” secara terkode dalam ayat-ayat tertentu, dan jumlah pengulangan kata-kata tertentu merupakan contohnya.

Pengulangan kata: Di dalam Al-Qur’an, beberapa kata diulang-ulang dengan jumlah pengulangan yang sama. Misalnya:

1. Frasa “tujuh langit” diulang sebanyak 7 kali.

2. Kata “dunia” dan “akhirat” sama-sama diulang sebanyak 115 kali.

3. Kata “hari” diulang sebanyak 365 kali, sementara kata “bulan” diulang sebanyak 12 kali.

4. Kata “iman” (tanpa melihat jenis kelamin) diulang sebanyak 25 kali di sepanjang Al-Qur’an. Demikian pula kata “khianat” (suami terhadap istri atau sebaliknya) dan kata “kufur” (menutupi kebenaran).

5. Jika kita hitung kata “katakanlah”, jumlahnya ada 332. Akan didapat Jumlah yang sama jika kita menghitung jumlah pengulangan frase “mereka berkata/mengatakan”.

6. Kata “setan” digunakan sebanyak 88 kali. Kata “malaikat” pun diulang sebanyak 88 kali.

Keajaiban angka 19: Angka 19 disebut dalam Al-Qur’an dalam pernyataan tentang neraka: “Ia dijaga oleh sembilan belas penjaga.” (Surat Al-Mudatsir: 30). Angka ini juga dikodekan dalam ayat Qur’an lainnya. Misalnya:

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Kalimat yang kita temui pada setiap permulan surat ini memiliki 19 huruf.

Al-Qur’an terdiri dari 114 surat; angka 114 merupakan kelipatan dari 19, sama dengan 6 dikali 19.

Ada banyak angka kelipatan 19 lainnya:

Jumlah kata “Allah” dalam Al-Qur’an adalah 2698 (19 x 142);

Jumlah kata “Maha Penyayang” dalam Al-Qur’an adalah 114 (19 x 6);

Jika kita tambahkan semua angka dalam Al-Qur’an (tanpa menghitung pengulangannya), kita akan mendapatkan angka 162.146, yakni 19 x 8534;

Surat pertama yang diwahyukan terdiri dari 19 ayat.

Banyak contoh lain yang tak terhitung jumlahnya.


PERTANYAAN 39

Bagaimana kita mengetahui keberadaan akhirat?

Sekarang ini, Allah membuat manusia hidup dalam dunia persepsi. Sebuah ciptaan yang sempurna dan indah, dengan tampilan tiga dimensi serta penuh warna dan cahaya. Allah yang menciptakan dunia ini tentu saja mampu menciptakan alam yang jauh lebih indah lagi.

Seperti halnya gambaran alam yang Allah bentuk dalam otak manusia, Dia pun berkuasa untuk mengalihkan manusia ke dimensi lain setelah kematian manusia. Dia akan menunjukkan gambaran-gambaran dalam lingkungan yang berbeda. Alam dengan dimensi lain itu adalah alam akhirat.


PERTANYAAN 40

Apakah reinkarnasi itu ada?

Reinkarnasi adalah takhyul yang tidak berdasar. Pendapat ini berasal dari orang-orang tak beragama yang berpikiran bahwa manusia akan “menghilang setelah kematian”. Atau timbul pada orang-orang yang merasa takut untuk memasuki alam akhirat setelah kematian. Bagi kedua kelompok manusia ini, kembali ke dunia lagi setelah kematian merupakan suatu harapan yang menarik.

Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an menyebutkan bahwa hanya ada sekali kehidupan di dunia ini. Tempat dimana manusia diuji amal perbuatannya. Disebutkan pula bahwa setelah kematian tidak ada arah kembali ke dunia ini. Manusia hanya mati sekali saja. Ini ditegaskan dalam ayat berikut ini:

Mereka tidak akan merasakan kematian di dalamnya kecuali sekali saja. Tuhanmu memelihara mereka dari azab api neraka. (Surat Ad-Dukhan: 56)
PERTANYAAN 41

Apakah mati itu berarti menghilang?

Bagi manusia, mati tidak berarti menghilang. Kematian merupakan suatu peralihan ke kampung akhirat, tempat tinggal yang sebenarnya. Kematian memutuskan hubungan seseorang dengan tatanan dunia, termasuk tubuhnya yang ada dalam tatanan ini. Saat hubungan antara tubuh dan ruh terputus, yakni setelah kematian, ruh mulai berhubungan dengan gambaran akhirat. Tabir di depan matanya tersingkap, kemudian sadarlah ia bahwa mati bukan berarti menghilang seperti anggapannya. Ia memulai kehidupan akhirat seperti memulai hari-harinya saat terbangun dari tidurnya. Ia dibangkitkan dari kematian. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Dia lah yang memberi kehidupan dan menyebabkan kematian. Jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya mengatakan, “Jadilah” maka jadilah. (Surat Ghafir: 68) Peralihan manusia ke alam akhirat terjadi dengan sebuah perintah Allah seperti itu.


PERTANYAAN 42

Apa yang dialami orang saat kematiannya?

Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh, yakni kehidupan dan kematian mereka akan sama? Amat buruklah persangkaan mereka itu! (Surat al-Jatsiyah: 21)

Kematian spiritual yang dialami manusia telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Dan karenanya jelas bahwa kematian spiritual berbeda dengan kematian tubuh secara klinis. Dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa peristiwa-peristiwa tertentu terjadi saat kematian. Peristiwa-peristiwa itu hanya bisa dilihat oleh yang mengalaminya, namun tidak dapat dilihat orang lain.

Sebagai contoh, seorang yang kafir yang tak percaya akan keberadaan Allah nampak seolah mati dengan tenang, layaknya sedang tidur. Padahal kenyataannya, ruhnya yang beralih ke dimensi lain mengalami rasa sakit yang amat berat. Sebaliknya, ruh orang beriman yang nampak menderita saat kematiannya, dicabut nyawanya oleh malaikat maut dengan lembut perlahan-lahan.

Peristiwa yang dialami orang beriman dan orang yang kafir di saat kematiannya berbeda sama sekali. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang kafir akan mengalami hal berikut saat kematiannya:

Jiwanya akan dipukul di bagian punggung dan mukanya.

Mereka mengalami siksa kematian yang pedih.

Malaikat-malaikat mengabari mereka dengan siksaan yang kekal.

Ruhnya akan dicabut dengan kasar dari tubuhnya.

Sementara bagi orang-orang yang beriman:

Ruhnya dicabut dengan lembut dan perlahan-lahan dari tubuhnya.

Mereka disambut para malikat dengan ramah disertai ucapan salam.

Saat malaikat mencabut ruhnya, mereka dikabari berita surga.


PERTANYAAN 43

Apakah alam semesta pun akan mengalami kematian?

Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa seluruh mahluk akan mengalami kematian, termasuk alam semesta ini. Semua binatang, tumbuhan, manusia akan mati. Planet-planet, juga bintang-bintang dan matahari akan mati. Pada hari kiamat, semua wujud materi mati dan hancur. Peristiwa kiamat merupakan peristiwa yang paling dahsyat yang pernah dialami manusia. Peristiwa ini dirujuk dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

Namun manusia masih hendak mengingkari apa yang dihadapan mereka, dan bertanya, ‘Bilakah datangnya kiamat itu?’

Maka apabila mata terbelalak (ketakutan),

Dan apabila bulan telah hilang cahayanya.

dan matahari dan bulan dikumpul (bertabrakan).

Pada hari itu manusia akan bertanya: ‘Kemana tempat berlari?’

Sekali-kali tidak! Tak ada tempat berlindung.

Hanya kepada Tuhanmulah hari itu tempat kembali.

Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. (Surat al-Qiyamah: 5-13)


PERTANYAAN 44

Apakah hari kiamat itu hanya dialami oleh orang-orang yang masih hidup ataukah oleh semua orang yang pernah hidup sebelumnya?

Hari kiamat dimulai dengan tiupan sangkakala. Bersamaan dengan gempa yang dahsyat dan ledakan yang memekakkan telinga, seluruh manusia di muka bumi menyadari bahwa mereka sedang menghadapi bencana yang menakutkan. Bumi dan langit terbelah dan alam semesta pun berakhirlah. Tak ada kehidupan yang tersisa di muka bumi. Saat tiupan sangkakala yang kedua dibunyikan, manusia dibangkitkan dan dicabut keluar dari kuburnya. (Surat Az-Zumar: 39,68)

Seluruh manusia menyaksikan peristiwa yang berkembang setelah kebangkitan.

Namun Allah menjamin bahwa orang-orang yang beriman akan terjaga dengan aman dan tentram, dan terbebas dari rasa takut terhadap hari kiamat:

Barang siapa membawa kebaikan, maka ia memperoleh balasan yang lebih baik dan selamat dari kejutan dahsyat hari itu. (Surat An-Naml: 89


PERTANYAAN 45

Perhitungan macam apa yang dialami pada Hari Perhitungan?

Pada Hari Perhitungan, setiap orang akan diperiksa amalnya. Pada tahap pertama, segala hal yang diperbuat selama hidupnya akan ditunjukkan tanpa ada yang terlewat:

“...bahkan jika ada sesuatu (perbutan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan mengeluarkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Surah Luqman: 16).

Pada hari itu tak ada satu perbuatan pun yang dirahasiakan.

Orang bisa saja lupa apa yang dikerjakannya saat hidup di dunia. Namun Allah tidak pernah lupa terhadap segala perbuatnya, bahkan Dia akan menunjukkan kehadapannya pada hari perhitungan. Pada hari itu, setiap orang diberi catatan amalnya. Juga hasil timbangan yang adil atas kebaikan dan kejahatannya, tanpa dirugikan sedikitpun. Selama perhitungan, pendengaran, penglihatan dan kulitnya menjadi saksi atas perbuatannya selama hidup di dunia. Setelah perhitungan yang menggelisahkan itu, orang-orang yang tidak beriman digiring ke neraka. Sedangkan orang-orang beriman menjalani perhitungan yang mudah, dan memasuki surga dengan wajah cerah dan gembira sebagai hari kemenangan yang besar.


PERTANYAAN 46

Dapatkah seseorang menanggung dosa orang lain?

Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di dunia. Setiap orang akan melihat apa yang diperbuatnya, dan tak seorangpun bisa menolong orang lain. Ini dinyatakan dalam ayat berikut:

Orang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya meminta tolong untuk dipikulkan dosanya, tak ada seorangpun akan memikulkan untuknya meskipun itu kaum kerabatnya... (Surat Al-Fatir: 18)

PERTANYAAN 47

Apakah sesorang memiliki kesempatan untuk memperbaiki amal yang telah lalu setelah ia melihat kebenaran akhirat?

Pada hari itu, tidak ada peluang untuk memperbaiki amal. Meyakini setelah kematian adalah hal yang sia-sia. Al-Qur’an pun menyebutkan bahwa pada hari perhitungan, orang-orang kafir akan memohon agar diberi kesempatan untuk mengerjakan kewajibannya. Namun permintaan mereka tak akan diterima. Mereka berharap dapat kembali ke dunia, tetapi permintannya ditolak. Setelah menyadari tak ada peluang untuk menebus dosa, mereka sangat menyesal. Keputusasaan dan penyesalan yang bercampur merupakan perasaan yang menyiksa tiada bandingannya di dunia ini. Mereka sadar akan mendapat hukuman yang kekal di akhirat, tanpa sedikitpun peluang untuk menghindar:

Dan jika kamu melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata: ‘Kalau saja kami dikembalikan ke dunia, kami tak akan mengingkari ayat-ayat Tuhan kami serta menjadi orang-orang yang beriman.’ Tidak, telah nyata bagi mereka kejahatan yang dahulu selalu mereka sembunyikan. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, mereka akan kembali kepada perbuatan yang dilarang bagi mereka. Dan sesungguhnya mereka itu pendusta-pendusta belaka. Dan mereka akan berkata, ‘Kehidupan itu hanya di dunia saja dan kita sekali-kali tak akan dibangkitkan kembali.’ Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapakan kepada Tuhan mereka. Allah berfirman, ‘Bukankah kebangkitan ini benar?’ Mereka berkata, ‘Sungguh benar, demi Tuhan kami!’ Allah berfirman, Karena itu rasakanlah azab ini, karena kamu mengingkarinya.’ (Surat Al-An’am: 27-30)

PERTANYAAN 48

Seperti apakah neraka itu?

Neraka adalah tempat segala macam penderitaan, siksaan dan hukuman yang kekal bagi orang-orang yang tidak beriman. Mengenai hal ini, Al-Qur’an menerangkan:

Sesungguhnya neraka itu tempat yang selalu menanti – tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan ataupun mendapat minuman, selain air yang mendidih dan nanah – sebagai pembalasan yang setimpal. (Surat An-Naba’: 21-26)

PERTANYAAN 49

Apa yang diceritakan Al-Qur’an tentang neraka?

Ayat-ayat Al-Qur’an menyebutkan adanya kehidupan di neraka. Namun kehidupan yang dialami adalah segala macam kehinaan, penderitaan dan siksaan lahir dan batin.

Dibandingkan dengan kehidupan di dunia, manusia tak dapat membayangkan bagaimana beratnya siksaan di neraka. Orang-orang yang tidak beriman mengalami siksaan berat dari berbagai segi, baik lahir maupun batin. Lagi pula, siksanya tak pernah berhenti ataupun berkurang:

Sekali-kali tidak! Sungguh neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan berpaling, serta mengumpulkan harta dan menyimpannya (dengan kikir). (Surat Al-Ma‘arij: 15-18)

PERTANYAAN 50

Seperti apakah surga itu?

Surga adalah tempat kembali bagi mereka yang memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, menta’ati perintah-perintah Allah dan hidup demi mencari ridha Allah. Di dalamnya, mereka hidup kekal dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Di dalam surga, manusia bisa menikmati dengan segera segala keindahan yang disukainya, dan kapanpun bebas melakukan apa yang diinginkannya. Di surga, terdapat segala sesuatu yang dikehendaki manusia, bahkan lebih dari itu. Pahala berlimpah yang diterima orang-orang yang beriman disebutkan dalam ayat-ayat berikut:

Hamba-hambaku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini; tidak pula kamu bersedih hati.

Yaitu orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka yang dahulunya berserah diri.

Masuklah kamu dan istri-istri kamu ke dalam surga, dan bergembiralah.

Diedarkan kepada mereka piring-piring dan piala dari emas, dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diinginkan hati dan sedap dipandang mata. Dan kamu kekal di dalamnya.

Itulah surga yang akan diwariskan kepadamu untuk amal-amal yang dahulu engkau kerjakan. (Surat Az-Zukhruf: 68-72)

Senin, 23 Agustus 2010

Pola Pikir Qur'ani Seorang Beriman Sikap terhadap Keluarga dan Teman


Orang beriman bersyukur kepada Allah di saat dia memikirkan penciptaan orang tuanya yang telah menghabiskan begitu banyak waktu dan jerih payah untuk menjaganya selama bertahun-tahun semenjak dia pertama kali membuka matanya di dunia ini. Orang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an akan senantiasa berusaha untuk menyadari bahwa Allah menciptakan orang tuanya dan memberikan mereka kasih sayang dan belas kasih-Nya dan menganugerahi mereka dengan cinta kepada anak mereka. Allah menciptakan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak yang mereka besarkan dari masa kecil, dari tanpa daya sampai mereka mandiri di saat dewasa. Dalam ikatan kasih sayang ini, orang tua tak pernah lelah dalam kebahagiaan merawat anak mereka dan melihat mereka tumbuh dewasa. Allah menekankan pentingnya keluarga dalam kehidupan manusia:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman, 31:14)
Katakanlah, "Mari kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa. (QS Al An’am, 6:151)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, (QS Al Ahqaf, 46:15)
Jadi, berdasarkan ayat-ayat tersebut, orang beriman akan menunjukkan perhatian kepada orang tuanya dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat, menanamkan kasih sayang bagi mereka, memperlakukan mereka dengan baik, dan berusaha menyenangkan hati mereka dengan ucapan yang baik dan bijaksana. Sekali lagi dalam Al Qur'an, Allah menunjukkan kepada kita bagaimana caranya bersikap peka terhadap orang tua kita:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS Al Israa’, 17:23)
Di dalam ayat ini, Allah menunjukkan kepada kita ukuran belas kasihan yang harus ditunjukkan kepada orang tua. Dengan kata-kata “janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, Allah telah melarang orang beriman dari melakukan perbuatan tidak hormat yang paling kecil sekalipun, atau mengabaikan mereka. Untuk itu, orang beriman senantiasa berbuat dengan penuh perhatian terhadap orang tua mereka dan dengan rasa hormat dan tenggang rasa yang sangat besar.
Mereka akan melakukan apa saja yang mungkin untuk membuat orang tua mereka nyaman dan tidak akan berusaha mengurangi rasa hormat dan perhatian. Mereka akan terus ingat akan kesulitan dan kegelisahan di hari tua dan akan melakukan setiap usaha untuk memberikan semua kebutuhan mereka, bahkan sebelum mereka mengutarakannya dengan pengertian yang penuh kasih sayang. Mereka akan melakukan apa saja yang mereka mampu untuk memastikan bahwa orang tua mereka merasa nyaman dan tidak kekurangan, baik secara rohani maupun jasmani. Dan, tidak peduli apa pun yang terjadi, mereka tidak akan berhenti memperlakukan mereka dengan rasa hormat yang mendalam.
Ada keadaan lain yang mungkin dihadapi oleh orang beriman dalam hubungan mereka dengan orang tua. Orang yang beriman mungkin memiliki orang tua yang memilih jalan kafir. Dalam kasus seperti perbedaan iman, orang beriman akan mengajak mereka dengan sikap yang sama sopan dan hormatnya untuk mengikuti jalan yang benar. Perkataan Ibrahim AS kepada ayahnya yang menyembah berhala, menunjukkan kepada kita pendekatan seperti apa yang harus kita tempuh dalam keadaan semacam itu:
Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (QS Maryam, 19:43-44)
Kembali, ketika sebagian orang melihat orang tua mereka semakin menua dan kehilangan kekuatan, mereka berpaling di saat orang tuanya membutuhkan pertolongan dan perhatian. Tidak sulit melihat tersebar luasnya sikap semacam itu saat ini. Kita seringkali bertemu orang tua, yang berada dalam keadaan yang sangat buruk secara jasmani dan rohani, ditinggalkan berdiam di rumah mereka sendirian. Bila kita memikirkan keadaan ini kita akan melihat bahwa akar dari persoalan ini terdapat pada tidak dijalaninya hidup sesuai ajaran Al Qur'an.
Seseorang yang menerima Al Qur'an sebagai tuntunannya, bertindak terhadap orang tuanya, anggota keluarganya yang lain, dan setiap orang yang ada di sekitarnya dengan kasih sayang dan belas kasih. Dia akan mengajak kerabat, teman, dan kenalannya yang lain untuk hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, karena Allah memerintahkan orang beriman untuk mulai mendakwahkan Islam kepada orang yang dekat dengan mereka.
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS As Syu’ara’, 26:214)
Selalu ada kebahagiaan dan keceriaan di dalam sebuah keluarga yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, sebagaimana diwujudkan di dalam Sunnah Rasulullah SAW. Keadaan seperti teriakan, percekcokan, dan sikap tidak hormat yang kita lihat dalam keluarga yang terpecah saat ini tidak mungkin pernah terjadi dalam masyarakat orang-orang beriman. Dalam masyarakat seperti itu, setiap orang merasa sangat bahagia bersama keluarganya. Anak memperlakukan orang tua mereka dengan hormat dan mencintai mereka sepenuh hati. Keluarga memandang anak sebagai amanat dari Allah dan menjaga mereka. Ketika kita mengucapkan kata “keluarga”, kehangatan, cinta, rasa aman, dan saling menolong muncul dalam benak kita. Namun adalah bermanfaat untuk kembali menyorot, bahwa keadaan yang istimewa ini hanya dapat diraih melalui menjalani hidup dengan penuh iman dan sepenuhnya dalam Islam serta melalui takut dan cinta kepada Allah.
Sikap terhadap Nikmat
Orang beriman yang mengesampingkan pandangan kebiasaan mereka dan mengamati lingkungan mereka akan mengerti bahwa, semua yang dia lihat adalah nikmat dari Allah. Mereka akan mengerti bahwa semuanya—mata, telinga, tubuh, semua makanan yang mereka makan, udara bersih yang mereka hirup, rumah, benda dan harta, apa yang mereka miliki dan bahkan makhluk hidup renik dan bintang-bintang—dijadikan untuk kepentingan mereka. Dan semua nikmat ini terlalu banyak jumlahnya untuk dihitung. Sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut, bahkan tidak mungkin untuk mengelompokkan dan menghitung semua nikmat ini:
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An Nahl, 16:18)
Orang beriman diperkenankan menggunakan semua nikmat yang diberikan kepadanya di dunia ini, namun dia tidak akan tertipu oleh itu semua sehingga lupa dan hidup tanpa memikirkan Allah, kehidupan setelah mati, atau ajaran Al Qur'an. Tidak peduli berapa pun banyaknya harta yang dia miliki, kekayaan, uang atau kekuasaan dan sebagainya, itu semua tidak akan meyebabkannya menjadi terperosok atau sombong. Singkatnya, itu semua tidak akan menjerumuskannya untuk meninggalkan ajaran Al Qur'an. Dia sadar bahwa semua ini adalah nikmat dari Allah dan jika Dia menghendaki, Dia dapat mengambilnya kembali. Dia selalu sadar bahwa nikmat di dunia ini hanya sementara dan terbatas. Semuanya adalah ujian untuknya, dan semua itu hanyalah bayangan dari nikmat yang sesungguhnya di dalam Surga.
Bagi seseorang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, nikmat di dunia ini seperti harta benda, hak milik, dan jabatan hanyalah sarana untuk mendekatkan diri dan bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu, tidaklah pernah menjadi tujuannya untuk memiliki nikmat di dunia ini, yang dia tahu hanya akan dia nikmati untuk waktu yang sesaat. Misalnya, salah satu nikmat paling tahan lama yang dapat digunakan manusia sepanjang hidupnya adalah rumah. Namun rumah hanya bermanfaat bagi seseorang untuk waktu dua puluh tahun atau paling lama sepanjang hidupnya. Ketika hidupnya di dunia berakhir, dia akan pergi jauh meninggalkan rumah yang dicintainya, dihargainya, dan telah dimilikinya dengan bekerja sangat keras sepanjang hidupnya. Tidak ada keraguan bahwa kematian menandai perpisahan mutlak antara seseorang dengan nikmat dunianya.
Orang beriman tahu bahwa Allah adalah pemilik sesungguhnya dari nikmat yang diberikan kepadanya dan semua itu berasal hanya dari-Nya. Orang beriman melakukan semua yang bisa dilakukannya untuk berterima kasih kepada Allah Yang telah menciptakan nikmat ini dan untuk menunjukkan penghargaan dan syukurnya. Sebagai balasan dari nikmat yang tak terhitung jumlahnya dari Allah, dia akan senantiasa melakukan setiap usaha untuk bersyukur melalui apa yang dia ucapkan dan kerjakan, untuk memikirkan nikmat Allah dan mengingat semuanya dan untuk berdakwah tentang hal itu kepada orang lain. Berikut ini adalah beberapa ayat yang berkaitan dengan hal itu:
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu ? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (QS Ad Duha, 93:5-11)
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah olehmu sekalian di waktu Allah menjadikanmu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Al A’raf, 7:69)
Sebagian orang, sebelum bersyukur menunggu dulu turnunya nikmat tertentu atau selesainya masalah besar. Padahal, jika mereka berpikir barang sejenak, mereka akan melihat bahwa setiap saat dalam kehidupan seseorang penuh dengan nikmat. Secara berkesinambungan, pada setiap saat, nikmat yang tidak terhitung jumlahnya diberikan kepada kita seperti kehidupan, kesehatan, kecerdasan, kesadaran, pancaindera, dan udara yang kita hirup. Sudah seharusnya kita bersyukur atas setiap nikmat tersebut, satu demi satu. Orang yang lalai dalam mengingat Allah dan merenungkan bukti-bukti penciptaan-Nya tidak menyadari nilai nikmat mereka di saat mereka memilikinya. Mereka tidak bersyukur dan mereka hanya mengerti nilai nikmat-nikmat itu ketika semua diambil dari mereka.
Namun orang beriman merenungkan betapa tidak berdayanya mereka dan betapa besar kebutuhan mereka akan semua nikmat ini, sehingga mereka senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Orang beriman tidak hanya bersyukur kepada Allah atas kesejahteraan, kekayaan, dan harta benda. Mereka mengetahui bahwa Allah adalah Pemilik dan Penguasa segala hal. Mereka bersyukur kepada Allah atas kesehatan, penampilan yang cantik, pengetahuan, kecerdasan mereka, atas kecintaan mereka akan iman dan kebencian mereka kepada kekafiran, atas kenyataan bahwa mereka berada di jalan yang benar, atas keterlibatan mereka bersama orang-orang beriman dengan sepenuhnya, atas pengertian, pemahaman dan pandangan mereka, dan atas kekuatan fisik dan rohani mereka. Mereka segera bersyukur kepada Allah saat mereka melihat pemandangan indah atau saat mereka mengatur pekerjaan mereka dengan baik, saat mereka menerima sesuatu yang mereka inginkan, mendengar ucapan yang baik, menyaksikan perbuatan kasih sayang dan rasa hormat, dan segala macam nikmat yang terlalu banyak untuk disebutkan. Mereka mengingat-Nya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Jika orang beriman menunjukkan dalam perbuatan baiknya bahwa nikmat yang telah dia terima tidak akan membuatnya rakus, sombong dan tinggi hati, Allah akan memberikan untuknya nikmat yang lebih banyak lagi. Pernyataan Allah dalam Al Qur'an berbicara mengenai hal ini:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim, 14:7)
Pada saat yang bersamaan, semua nikmat adalah bagian dari ujian duniawi bagi manusia. Karena itu, orang-orang beriman, selain bersyukur, juga menggunakan nikmat yang diberikan kepada mereka sebanyak mungkin dalam melakukan pekerjaan yang baik. Mereka tidak mau menjadi kikir dan menimbun kekayaan. Hal ini karena mengumpulkan dan menimbun harta adalah sifat penghuni Neraka. Allah mengajak kita memperhatikan hal ini di dalam Al Qur'an:
Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS Al Ma’arij, 70:15-21)
Sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang harus diinfakkan oleh manusia, Allah menganjurkan agar kita memberikan “Yang lebih dari keperluan” (QS Al Baqarah, 2:219). Merupakan tuntutan ajaran Al Qur'an agar orang beriman menggunakan sebagian pendapatan mereka di luar kebutuhan mereka sendiri untuk pekerjaan baik yang dituntun oleh Allah. Batas minimal secara hukum dari pemberian itu adalah kewajiban zakat, yang ditagih oleh penguasa atau pemimpin masyarakat untuk dibagikan kepada orang miskin dan yang membutuhkan dan orang lainnya sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam ayat mengenai zakat. Memberikan lebih daripada itu bukanlah merupakan kewajiban, namun sangat dianjurkan.
Ungkapan syukur orang beriman akan nikmat mereka dengan menggunakan nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada mereka pastilah demi meraih ridha-Nya. Orang beriman bertanggung jawab atas penggunaan apa yang telah diberikan kepadanya dalam melakukan amal saleh yang telah diperintahkan oleh Allah. Bersamaan dengan sarana materi yang telah Allah berikan kepada mereka, orang beriman menggunakan raganya untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk bekerja di jalan-Nya. Dengan demikian ia berharap meraih ridha dan ampunan Allah dan menggapai nikmat yang tiada akhir di Surga:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka... (QS At Taubah, 9:111)
Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW melalui pembayaran zakat dan tindakan memberi dengan ikhlas akan mengentaskan kekerasan, perselisihan, pencurian, dan tindakan kriminal buruk lainnya yang disebabkan oleh kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan persoalan lain semacam itu. Dengan jalan ini dan kehendak Allah, kedamaian pikiran dan kesejahteraan akan mencapai tingkatan tertinggi.
Sikap terhadap Keindahan
Karena kesejahteraan, keindahan, dan kecantikan adalah sifat dari Surga, tiruan hal tersebut di dunia akan mengingatkan manusia akan Surga. Hal tersebut meningkatkan hasrat dan keinginan besar orang beriman untuk meraihnya. Namun orang yang tidak beriman merasa cukup dengan hal itu di dunia, dan tidak tertarik dengan kehidupan setelah mati.
Segalanya—sungai yang mengalir tiada henti, tempat-tempat berpemandangan indah, taman-taman dengan warna yang menakjubkan, kecantikan manusia, perpaduan keindahan dan karya seni yang menakjubkan—semuanya adalah nikmat dan kesenangan dari Allah untuk manusia. Dalam tiap nikmat tersebut dalam kehidupan dunia ini terdapat petunjuk mengenai ciptaan Allah. Orang beriman akan memandang semua keindahan di dunia ini sebagai bayangan dari yang sejati (di Surga), dan sebagai contoh dan pengumuman kabar gembira.
Dan sampaikanlah kabar gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah, 2:25)

However much the blessings in the afterlife resemble those in the world, they are superior to earthly blessings in their reality and in being eternal. Allah has created a perfect Garden endowed with numerous blessings. A person with the values taught by the Qur'an will ponder the creation and excellence of the Garden in everything he sees. When he looks at the sky, he will think of "a Garden as wide as the heavens and the earth" (Surah Al 'Imran: 133); when he sees beautiful houses, he will think of "lofty chambers in the Garden, with rivers flowing under them", (Surat al-'Ankabut: 58); when he sees dazzling jewels, he will think of the adornments of Garden "gold bracelets and pearls" (Surah Fatir: 33); when he sees stylish and attractive clothing, he will think of the clothing of the Garden made of "the finest silk and rich brocade" (Surat al-Kahf: 31); when he tastes delicious food and drink, he will think of the "rivers of water which will never spoil and rivers of milk whose taste will never change and rivers of wine, delightful to all who drink it, and rivers of honey of undiluted purity" (Surah Muhammad: 15) in the Garden; when he sees attractive gardens, he will think of the Garden "of deep viridian green" (Surat ar-Rahman: 64); when he sees attractive furniture, he will think of the "sumptuous woven couches" (Surat al-Waqi'a:15) in the Garden.
Sekalipun begitu, banyak nikmat pada kehidupan di akhirat mempunyai kemiripan dengan yang ada di dunia. Nikmat tersebut jauh lebih besar daripada nikmat di dunia dalam hal kesejatian dan sifatnya yang kekal. Allah telah menciptakan Surga yang sempurna disertai dengan nikmat yang sangat banyak. Dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Qur'an, seseorang akan merenungkan penciptaan dan kehebatan Surga dalam segala hal yang dia lihat di dunia. Ketika melihat ke langit, dia akan berpikir “surga yang luasnya seluas langit dan bumi” (QS Ali ‘Imran, 3:133). Ketika dia melihat rumah yang indah, dia akan memikirkan “tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (QS Al ‘Ankabut, 29:58). Ketika dia melihat perhiasan yang berkilauan, dia akan memikirkan hiasan di Surga ”gelang-gelang dari emas, dan mutiara” (QS Fatir, 35:33). Ketika dia melihat pakaian yang indah dan menarik, dia akan memikirkan pakaian di Surga yang terbuat dari “sutera halus dan sutera tebal” (QS Al Kahfi, 18:31). Ketika dia merasakan makanan dan minuman yang lezat, dia akan memikirkan “sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring.” (QS Muhammad, 47:15) di Surga. Ketika dia melihat taman yang menarik, dia akan memikirkan Surga “(kelihatan) hijau tua warnanya” (QS Ar Rahman, 55:64). Ketika dia melihat perlengkapan rumah yang menarik, dia akan memikirkan “dipan yang bertahta emas dan permata” (QS Al Waqi’ah, 56:15) di Surga.
Alasan cara berpikir seperti ini adalah, bahwa semua hal yang indah di dunia ini bagi orang beriman merupakan sumber kebahagiaan yang sangat besar dan kesempatan untuk kebaikan, terlepas dari dia memiliki nikmat tersebut atau tidak. Pada saat yang bersamaan, nikmat itu merupakan sumber kebahagiaan penting yang akan meningkatkan kerinduan akan Surga dan usaha untuk meraihnya.
Orang beriman yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an tidak akan iri atau marah ketika melihat seseorang lebih kaya atau lebih menarik daripadanya. Sebagai contoh, tidak seperti kebanyakan orang, dia tidak akan menyesali bahwa dia tidak memiliki rumah yang indah, karena salah satu tujuan dasar dari kehidupan orang beriman adalah untuk meraih yang tidak sementara, melainkan keindahan yang abadi. Kampung halamannya yang sesungguhnya adalah Surga. Allah mengajak kita untuk memperhatikan hal ini dalam Al Qur'an:
Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, ridha dan surga; mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal. (QS At Taubah, 9:21)
Orang yang menghindari ajaran Al Qur'an tidak menghiraukan kenyataan bahwa kampung halaman mereka sesungguhnya adalah Surga, sehingga mereka demikian bernafsu dan lekat dengan kesenangan yang tidak kekal di dunia ini. Tujuan mendasar mereka adalah: menjadi pusat perhatian dan kekaguman, dihormati dan dipentingkan karena kemampuan mereka, meningkatkan kekayaan materi mereka dan menjalani hidup yang indah. Sepanjang hidup mereka, mereka terus mengejar nilai-nilai dunia yang sifatnya sementara, tidak penting, dan menipu. Melihat hal-hal baik yang tidak mereka miliki hanya akan meningkatkan kedengkian, keserakahan, dan kesedihan mereka. Misalnya, mereka tidak senang berada di rumah yang indah yang bukan milik mereka. Benak mereka dipenuhi dengan pertanyaan semacam ini, “Mengapa aku tidak sekaya ini?” dan “Mengapa aku tidak memiliki rumah indah seperti ini?” Bagi orang-orang ini, hal-hal yang indah di dunia biasanya menjadi sumber kegelisahan, karena untuk bisa menikmati kesenangan dari hal-hal yang indah, mereka berpikir bahwa mereka harus memilikinya.
Sebaliknya, orang yang hidup sesuai ajaran Al Qur'an mengetahui bagaimana menghargai hal yang indah, terlepas dari mereka memilikinya atau tidak. Misalnya, seseorang yang memiliki kesadaran akan iman mungkin (sebagai bagian ujian untuknya dari Allah di dunia ini) tidak akan tinggal di lingkungan mewah, bahkan mungkin tidak pernah melihatnya sama sekali. Tetapi dia menyadari bahwa ada alasan yang jelas akan keadaannya. Orang beriman tahu bahwa dia tidak harus pergi ke tempat semacam itu untuk melihat keindahan ciptaan Allah. Dengan pandangan dan pemahamannya yang istimewa ini, orang beriman akan memperhatikan keindahan penciptaan Allah yang tiada tara di setiap tempat dan setiap saat. Keindahan bintang di malam hari dan keindahan tiada tara, warna dan rancangan setangkai mawar adalah dua contoh yang dapat dilihat dan dikagumi setiap orang setiap hari.
Seperti yang sudah kita bahas, kerinduan yang dirasakan oleh orang beriman akan Surga menyebabkan mereka mengubah lingkungan mereka menjadi tempat yang mengingatkan mereka akan Surga. Tentu saja Surga merupakan hasil pekerjaan seni yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa dibayangkan manusia, dengan pemandangan sempurna dan keindahan yang tidak dapat dibayangkan oleh seorang pun di dunia ini. Namun seorang Muslim yang hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an akan menggunakan semua yang dimilikinya untuk memperindah lingkungan sekelilingnya. Kita mempelajari dari Al Qur'an bahwa halaman istana Nabi Sulaiman diberi ubin kaca (QS An Naml, 27:44) dan rumahnya dihiasi dengan ukiran dan patung-patung, perlengkapan dapur yang besar seperti penampung air dan kuali masak yang dibuat sangat besar (QS Saba’, 34:13). Dalam Al Qur'an, Allah juga berfirman bahwa keluarga Ibrahim AS diberikan sebuah kerajaan yang luas (QS An Nisa’, 4:54)
Dengan jabatan yang tinggi, dan terkadang kekayaan dan kekuasaan yang sangat besar yang telah diberikan kepada mereka, para rasul Allah menggunakan semua nikmat mereka sebagaimana yang dituntun oleh Allah dan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, Allah memuji mereka dalam Al Qur'an. Orang beriman menjadikan semua nabi sebagai teladan dan berusaha—sebagaimana yang dilakukan oleh para wali (orang yang dekat dengan Allah)—untuk menggunakan nikmat yang datang kepada mereka untuk meraih ridha Allah.
Tanggapan terhadap Kejadian yang Tampak Buruk
Berbagai macam kesulitan dapat terjadi pada seseorang sepanjang hari. Namun apa pun kesulitan yang mungkin dia jumpai, orang beriman menempatkan dirinya dalam genggaman Allah dan berpikir, “Allah menguji kita dalam segala yang kita lakukan dan pikirkan di kehidupan dunia ini. Ini merupakan kenyataan penting yang tidak boleh lepas dari pandangan kita. Maka, ketika kita menghadapi kesulitan dalam apa pun yang kita kerjakan, atau berpikir bahwa keadaan tidak berjalan dengan baik, kita tidak boleh pernah lupa bahwa Allah menempatkan kesulitan di jalan kita dalam rangka menguji tanggapan kita.”
Dalam Al Qur'an, Allah berfirman bahwa setiap kesulitan yang ditemui seseorang berasal dari-Nya:
Katakanlah, "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS At Taubah, 9:51)
Semua yang kita jumpai dalam pengalaman kita telah ditetapkan oleh Allah dan bermanfaat bagi orang beriman di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Hal ini jelas bagi setiap orang yang memperhatikan dengan iman (Untuk lengkapnya, lihat Harun Yahya: Seeing Good in All (Melihat Kebaikan dalam Segala Hal), Islamic Book Service, 2003). Misalnya, ada banyak manfaat di saat orang beriman kehilangan harta yang dia cintai. Dari luar, hal ini tampak seperti kemalangan. Namun ini dapat menjadi sarana agar seorang beriman dapat melihat kesalahannya, meningkatkan kewaspadaannya, dan menyadari bahwa dia harus lebih berhati-hati di tempat-tempat tertentu. Manfaat lain dari kemalangan semacam ini adalah mengingatkan seseorang bahwa dia tidak memiliki apa pun; bahwa pemilik segala sesuatu adalah Allah.
Hal ini berlaku dalam setiap hal, besar atau kecil, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sebagai akibat kesalahpahaman atau kelalaian seseorang, pembayaran mungkin dilakukan secara keliru. Pekerjaan yang telah dengan susah payah dilakukan selama berjam-jam mungkin hilang dalam sekejap karena putusnya aliran listrik. Seorang pelajar sakit dan tidak bisa mengikuti ujian masuk universitas, padahal dia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mempersiapkan dirinya. Dokumen tidak pernah diselesaikan, sehingga menyebabkan penundaan. Seseorang yang memiliki janji penting di suatu tempat mungkin ketinggalan bis atau pesawat… Semua itu adalah macam peristiwa yang dapat terjadi dalam kehidupan seseorang dan itu tampak seolah kemunduran yang sulit diselesaikan.
Namun terdapat banyak keindahan dalam peristiwa-peristiwa ini dari sudut pandang orang yang beriman. Di atas itu semua, orang beriman menyimpan di benaknya bahwa Allah menguji perbuatan dan keteguhannya, bahwa dia akan mati dan adalah buang-buang waktu saja jika terus berdiam diri dalam kesulitan tersebut, karena perhatiannya adalah pada kehidupan setelah mati. Dia mengetahui bahwa ada benang merah dalam semua hal yang terjadi. Dia tidak pernah kehilangan semangat. Dia berdoa agar Allah membuat pekerjaannya menjadi mudah dan membuat segalanya berubah menjadi baik. Dan kemudahan datang setelah kesulitan, dia bersyukur kepada Allah bahwa Dia telah menerima dan mengabulkan doanya.
Seseorang yang memulai harinya dengan pikiran semacam itu tidak akan mudah kehilangan harapan walau apa pun yang terjadi atau menjadi khawatir, ketakutan, atau merasa putus asa. Jika dia lupa sesaat, dia akan segera ingat lagi dan kembali kepada Allah. Dia tahu bahwa Allah menciptakan semua ini untuk maksud yang baik dan bermanfaat. Dan dia tidak akan berpikir demikian hanya jika sesuatu yang gawat akan segera menimpanya. Sebaliknya, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, dalam segala hal, baik besar maupun kecil yang terjadi kepada dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, pikirkanlah seseorang yang tidak membuat kemajuan seperti yang diinginkan dalam sebuah pekerjaan penting. Pada menit terakhir, tepat di saat dia akan segera menyelesaikannya, dia menemui sebuah masalah serius. Orang tersebut terbakar dalam kemarahan, menjadi gelisah dan menderita dan melakukan tanggapan buruk lainnya. Sebaliknya, seseorang yang percaya bahwa ada kebaikan dalam setiap hal, akan mencoba menemukan apa yang ditunjukkan oleh Allah kepadanya melalui peristiwa ini. Dia mungkin berpikir bahwa Allah mengajaknya memikirkan hal ini agar dia lebih berhati-hati dalam masalah ini. Dia akan melakukan semua tindakan pencegahan yang dibutuhkan dan dia akan bersyukur kepada Allah bahwa dia mungkin telah dihindarkan dari kerusakan yang lebih besar melalui tindakan ini.
Apabila dia ketinggalan bis dalam perjalanannya ke suatu tempat, dia akan berpikir bahwa dengan keterlambatan atau tidak naik ke dalam bis tersebut, dia mungkin terhindar dari kecelakaan atau malapetaka. Ini hanyalah beberapa contoh. Dia akan berpikir bahwa terdapat banyak alasan tersembunyi semacam ini lainnya. Contoh-contoh ini dapat berkali-kali ditemui dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Tetapi hal yang penting adalah: rencana seseorang mungkin tidak selalu terwujud sesuai dengan yang dia inginkan. Dia mungkin menemukan dirinya dalam lingkungan yang benar-benar berbeda dengan yang dia rencanakan. Namun hal itu justru bermanfaat bagi orang yang menempatkan dirinya dalam genggaman Allah, sehingga dia mencoba untuk menemukan tujuan Allah atas segala hal yang terjadi padanya. Dalam Al Qur'an, Allah menerangkan sebagai berikut:
…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al Baqarah, 2:216)
Seperti firman Allah, kita tidak tahu mana yang bermanfaat atau berbahaya; tetapi Allah tahu. Kita harus bersahabat dan berserah diri kepada Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dalam kehidupan dunia ini, manusia dapat kehilangan semua yang dimilikinya dalam sekejap. Dia dapat kehilangan rumahnya dalam kebakaran, modal yang ditanamnya dalam krisis ekonomi, atau benda berharganya karena kecelakaan. Allah berfirman dalam Al Qur'an bahwa manusia akan mengalami ujian semacam ini:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS Al Baqarah, 2:155)
Allah memberitahu manusia bahwa mereka akan mengalami berbagai macam ujian dan mereka akan menerima balasan atas kesabaran mereka dalam keadaan sulit. Misalnya, seseorang kehilangan sesuatu yang dia miliki dan tidak dapat menemukannya. Kesabaran yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur'an adalah ketika seseorang menempatkan dirinya sepenuhnya dalam kuasa Allah dan berserah diri kepada kehendak-Nya, semenjak dia mengetahui bahwa harta bendanya, besar ataupun kecil, telah hilang. Dia tidak tergelincir dari kenyataan bahwa Allah telah menciptakan segalanya dan dia tidak membiarkan sikap dan tingkah lakunya menjadi kehilangan keseimbangan.
Seseorang mungkin menderita kehilangan yang bahkan lebih buruk lagi dalam satu hari. Misalnya jika seseorang kehilangan sumber nafkah tempat dia menghabiskan sebagian besar harinya untuk memenuhi kebutuhannya. Kehilangan seperti ini sangat serius bagi orang yang percaya bahwa masa depannya bergantung pada hal itu. Banyak orang yang dibesarkan dari masa kecil mereka dengan gagasan untuk meraih pekerjaan yang baik. Mereka menghabiskan setiap saat dalam hidup mereka menginginkan pekerjaan yang lebih baik atau kemajuan dan peningkatan jabatan dalam pekerjaan yang mereka miliki. Maka, jika mereka kehilangan pekerjaan mereka, hari-hari mereka akan dipenuhi dengan kemurungan dan kegelisahan, dan hidup mereka, seperti kata pepatah, sudah berada di bawah roda kehidupan.
Di lain pihak, orang beriman tahu bahwa adalah Allah-lah Yang memberinya keperluan sehari-harinya dan bahwa sumber nafkahnya adalah untuk tujuan ini semata-mata. Dengan kata lain, bagi orang beriman, nikmat yang Allah telah berikan kepadanya hanyalah sebuah sarana. Untuk itu, bila orang beriman kehilangan sumber nafkahnya, dia akan menerima kenyataan itu dengan kesabaran dan berserah diri. Dalam keadaan semacam itu, dia akan bersabar dan berdoa dan menempatkan dirinya dalam kuasa Allah. Dia tidak pernah lupa bahwa Allah memberikan keperluan sehari-harinya dan Dia dapat mencabutnya kapan saja Dia kehendaki.
Seseorang yang menjadikan Al Qur'an sebagai pedoman akan segera mengendalikan pikiran dan tindakannya jika dia kehilangan sumber nafkah, menderita kesakitan, tidak mampu belajar di sekolah pilihannya, atau keadaan serupa itu. Dia akan memikirkan apakah tingkah lakunya membuat Allah ridha dan pikiran sebagai berikut mungkin ada di dalam benaknya:
- Apakah saya telah cukup bersyukur atas benda, harta, dan kekayaan yang telah hilang?
- Apakah saya bersikap buruk dan tidak berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan?
- Apakah saya lupa akan Allah dan kehidupan setelah mati, terlalu lekat dengan harta benda dan kekayaan saya?
- Apakah saya tinggi hati dan sombong karena kekayaan saya dan apakah saya menjauhkan diri dari jalan Allah dan ajaran Al Qur'an?
- Apakah saya berusaha agar dikagumi oleh orang lain, bukannya mencari ridha Allah, atau mencari jalan untuk memuaskan harapan dan keinginan saya sendiri?
Orang yang beriman akan memberikan jawaban yang jujur dan ikhlas atas semua pertanyaan itu. Berdasarkan jawaban tersebut, dia akan mencoba memperbaiki tingkah laku yang tidak disenangi Allah dan berdoa agar Allah menolongnya untuk melakukan itu. Dia akan mendekatkan diri kepada Allah dengan segala keikhlasan. Dia akan berlindung kepada Allah dari segala kesalahan yang pernah dia perbuat, dari kelalaian dan kecerobohan. Dalam Al Qur'an, Allah menjelaskan cara orang yang beriman dalam berdoa:
"…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami..." (QS Al Baqarah, 2:286)
Pada saat sedang diuji, seseorang mungkin menderita banyak kehilangan secara beruntun. Namun orang yang kuat imannya mengetahui bahwa ada alasan dari apa yang dideritanya. Salah satu hal terpenting dari alasan itu adalah latihan rohani yang datang bersamaan dengan kesulitan:
…Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan terhadap apa yang menimpamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali ‘Imran, 3:153)
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al Hadid, 57:22-23)
Bagi orang beriman, keadaan sulit yang datang berturut-turut sepanjang hari itu adalah sarana baginya untuk ingat bahwa dia sedang dalam suatu tempat ujian untuk menjadi lebih dekat kepada Allah, untuk dewasa, dan untuk memeluk ajaran Al Qur'an. Dia sadar bahwa Allah sedang melatihnya dengan jalan ini dan mempersiapkannya untuk nikmat tiada akhir di kehidupan yang akan datang.
Sikap terhadap Penyakit
Seseorang yang sadar akan imannya akan bersabar dan menempatkan dirinya dalam kehendak Allah kapan pun dia sakit, karena dia menyadari bahwa penyakitnya adalah ujian dari Allah, seperti sadarnya dia bahwa kesehatannya adalah ujian dari Allah. Dia menyadari bahwa cobaan dan kesakitan adalah ujian dari Allah seperti halnya kesejahteraan, kemakmuran, dan kemudahan. Dan memang, kemudahan justru merupakan cobaan yang lebih serius dan sulit. Karena itu, bagaimanapun kesulitan yang dihadapinya, dia akan sabar dan terus berdoa dalam keikhlasan kepada Allah. Dia tahu bahwa adalah Allah Yang menciptakan penyakit dan dengan demikian adalah Allah Yang akan memberikan kesembuhan. Dalam Al Qur'an, Allah memuji kesabaran orang beriman selama sakit dan menempatkannya dalam sifat “pengabdian yang sebenarnya”
…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al Baqarah, 2:177)
Di samping bersabar, orang beriman juga menjalani perawatan yang diperlukan untuk membuatnya pulih kembali. Dia tidak akan membesar-besarkan apa yang dialaminya atau bersifat kekanak-kanakan untuk menarik perhatian orang di sekelilingnya. Dia akan secara sadar menjalani perawatan dan meminum obat yang disarankan untuk penyakitnya. Perilaku ini sesungguhnya menjadi doa kepada Allah. Pada saat yang bersamaan dan sebagai hasil dari hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an, dia berdoa terus-menerus agar Allah akan menolong dan menyembuhkannya. Dalam Al Qur'an, Allah menjadikan Ayyub AS sebagai contoh atas sikap iman ini:
Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". (QS Al Anbiya’, 21:83)
Harus dikatakan bahwa semua obat yang diminum adalah sarana menuju kesembuhan. Jika Allah menghendaki, Dia akan menjadikan perawatan tersebut sebagai sarana penyembuhan. Adalah Allah Yang menciptakan sarana kesehatan yang digunakan dalam pengobatan—mikroorganisme, binatang, dan bahan tumbuhan—yang digunakan dalam campuran obat-obatan. Singkatnya, hanya Allah Yang menciptakan kesembuhan. Dalam Al Qur'an, Allah mengajak kita memperhatikan hal ini melalui apa yang dikatakan oleh Ibrahim AS:
“… dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS Ash Syu’ara’, 26:80)
Akan tetapi, anggota masyarakat kafir akan segera menentang Allah di saat mereka jatuh sakit. Mereka berperilaku berlawanan dengan kenyataan ayat tersebut saat mereka berkata, “Mengapa hal seperti ini terjadi padaku?” Orang yang berpikir dengan cara ini, tidak mungkin dapat menempatkan dirinya dalam kehendak Allah selama sakit atau menganggapnya sebagai sebuah manfaat.
Sebaliknya, orang yang beriman merenungkan alasan penyakit mereka dan menganggap itu sebagai sebuah kesempatan yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sekali lagi mereka menjadi mengerti akan besarnya nikmat kesehatan dan betapa tidak berdayanya manusia. Bahkan penyakit yang biasa seperti flu dapat membaringkan orang di atas tempat tidur. Dalam keadaan ini, bagaimanapun berkuasanya, terhormatnya, atau kayanya seseorang, tidak akan berdaya dan harus beristirahat dan meminum obat. Dalam keadaan ini, kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan Allah, dan penyakit adalah sarana bagi kita untuk mengingat nama Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dan bagi orang beriman, setiap penyakit adalah peringatan bahwa dunia adalah sementara dan kematian dan akhirat adalah sangat dekat.